Salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia adalah Indonesia. Kekayaan yang melimpah membawa ribuan manfaat bagi Indonesia dalam berbagai bidang. Namun, melestarikan alam yang begitu luas tentu menjadi tantangan besar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, bahwa pada tahun 2023, laju deforestasi berhasil ditekan hingga 113 ribu hektare per tahun, menjadi angka terendah dalam dua dekade terakhir. Akan tetapi, upaya reforestasi masih belum menunjukkan hasil yang signifikan dan terdapat berbagai kendala seperti minimnya penggunaan bibit tanaman hutan yang berkualitas dan bersertifikat.
70 juta jiwa generasi muda Indonesia (BPS, 2023) berpotensi besar untuk menjadi penghubung dalam membuat perubahan besar terkait isu ini. Dengan aktif terlibat dalam kegiatan penghijauan alam serta edukasi dan inovasi teknologi (IPTEK) untuk mendukung upaya pelestarian hutan berkelanjutan.
Bibit tanaman hutan berkualitas merupakan bibit dengan genetik unggul, sehat, dan adaptif terhadap ekosistem tempat penanaman. Sertifikasi bibit di Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) bersama dengan pengawasan ketat dari Pusat Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). Bibit yang bersertifikat memiliki mutu yang terjamin, ketahanan kuat terhadap penyakit atau hama, dan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan restorasi hutan.
Kualitas suatu bibit berperan penting dalam keberhasilan reforestasi. Data KLHK menyatakan bahwa tingkat keberhasilan reboisasi menggunakan bibit berkualitas dan bersertifikat dapat mencapai angka 85% dengan perbandingan pada bibit tidak bersertifikat yakni 50-60%. Angka tersebut menjadi bukti atas pentingnya pemilihan bibit secara terkhusus untuk memastikan perkembangan dan pertumbuhan yang optimal serta berkelanjutan bagi ekosistem.
Selain meningkatkan keberhasilan tingkat penanaman, kualitas bibit yang baik juga dapat memaksimalkan manfaat lingkungan dan ekonomi. Sebagai contoh, keefektifan program rehabilitasi mangrove dalam satu dekade terakhir yang memanfaatkan bibit unggul di Kabupaten Demak, hingga dapat meningkatkan perluasan mangrove sampai 2.000 hektare. Program ini juga terbukti dapat meningkatkan produktivitas ikan tangkap yang berdampak secara langsung kepada masyarakat pesisir.
Sebaliknya, bibit dengan kualitas rendah berisiko lebih besar dalam memperlambat proses penghijauan. Hal ini terjadi pada proyek rehabilitasi di Sumatera, karena ketidaksesuaian bibit dengan kondisi tanah lokal sehingga memicu kegagalan penanaman sampai 40% dan berujung pada pemborosan sumber daya.
Kesadaran generasi muda terkait isu pelestarian lingkungan sudah semakin tinggi. Namun, pemahaman generasi muda atas pentingnya menggunakan bibit bersertifikat masih terbilang rendah dan terbatas. Organisasi penghijauan lokal melakukan survei lapangan pada tahun 2022 dengan hasil yang menunjukkan bahwa hanya 30% mahasiswa aktif dalam kegiatan penghijauan yang memahami perbedaan bibit bersertifikat dan tidak bersertifikat. Kondisi ini menjadi pengingat bagi generasi muda untuk mendesak kebutuhan edukasi secara lebih terarah.
Edukasi mengenai bibit berkualitas dan bersertifikat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
Kurikulum Pendidikan
Mengenalkan dan mengintegrasikan isu reforestasi secara khusus di Indonesia dalam pelajaran. Hal ini dapat meningkatkan kepekaan siswa dalam menjaga dan memelihara lingkungan hidup secara terpadu.
Kampanye Digital
Pemanfaatan sosial media sebagai media penyebar informasi, mengingat generasi muda sebagai pengguna aktif utama platform seperti Instagram, Tiktok, dan Twitter. Sosial media terbukti menjadi salah satu wadah informasi yang efektif dalam menyebarkan informasi secara cepat dan luas.
Program Lapangan
Melibatkan generasi muda secara langsung dalam program dan berbagai kegiatan pembibitan dan penanaman hutan secara khusus kegiatan dari lembaga resmi, sehingga pengaruh yang dihasilkan dari program dapat berdampak besar.