Lihat ke Halaman Asli

Didi Jagadita

pegawai swasta

Informasi yang Konekting dan Pentingnya Persatuan

Diperbarui: 3 Agustus 2024   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

marketing.co.id

Nyaris tiga dekade ini, kita mengalami kemajuan terutama di bidang teknologi informasi. Gambaran bahwa kita agak sulit menghubungi seseorang dalam kehidupan sehari-hari atau dalam pekerjaan, sekarang itu tak ada lagi.  Seluruh dunia terkoneksi dan nyaris tak ada sekat di dalamnya.

Keterbukaan ini sejatinya seperti pisau bermata dua.  Pisau positif adalah kita bisa menyerap informasi sebanyak-banyaknya atau memproduksi informasi sebanyak-banyaknya. Pisau negatifnya adalah saat kita menerima informasi itu ada yang informasi negatif dan positif. Atau saat kita memproduksi informasi bisa saja informasi itu berdampak negatif bagi orang atau kelompok lain.

Inilah ironi yang harus kita hadapi pada masa kini. Informasi sangat banyak bahkan nyaris tunpah ruah di sisi lain kita harus pandai memilih informasi yangbaik dan tidak baik bagi kita.

Ini sudah banyak terbukti. Dalam hal keamanan dan ideologi misalnya. Kita mendapati banyaknya orang pergi ke Suriah karena  provokasi yang dilakukan Islamic State for Iran and Suriah (ISIS). Mereka memberi mimpi kepada para pemuja kekhilafahan bahwa akan mewujudkan cita-cita umat sedunia di negara Suriah melalui informasi yang saling terkoneksi itu. Akibatnya mereka tergoda dan berangkat ke sana ternyata mimpi mereka kosong.

Informasi yang saling terkoneksi yang bersifat negatif ini juga kerap mengganggu fondasi dan pilar yang memperkuat persatuan bangsa. Dasar negara dan filosofi negara sering diganggu dengan keinginan untuk menggantinya dengan syariat Islam. Fondasi dan pilar yuridis berupa aturan-aturan diganggu dengan pihak yang menyelipkan ideologi trans dalam tubuh pemerintahan atau produknya berupa UU baik di pusat maupun di daerah.

Fondasi pilar sosiologis yang berupa kearifan lokal juga diganggu dengan ideologi tertentu yang akhirnya menciptakan intoleransi. Padahal pada masa berkembangnya Islam, sembilan wali yang sering disebut wali songo kerap melibatkan kearifan lokal dalam menyebarkan agama. Artinya bukan untuk mencampurkan keyakinan namun kearifan lokal dipakai sebagai alat untuk mengantarkan pengetahuan baru yaitu islam bagi warga lokal. Karena itu mereka sering memakai wayang, tradisi syukur/syukuran untuk memperingati sesuatu. Kearifan lokal juga sering berfungsi sebagai perekat. Karena itu kita harus saling menghargai kearifan lokal agar tidak terjadi sesuatu yang bertentangan.

Karena itulah kita sudah seharusnya menjunjung persatuan di tengah-tengah derasnya arus informasi yang kita terima dan serba konekting itu.  Dasar negara dan lingkungan kehidupan masyarakt sekita menjadi penting sebagai "bemper" untuk melawan hal-hal negatif. Semoga bangsa kita jaya selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline