Lihat ke Halaman Asli

Didi Jagadita

pegawai swasta

Kita Pluralis, Tak Bisa Paksa Harus Seragam

Diperbarui: 18 Oktober 2019   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dutaislam.net

Kita tentu prihatin dengan apa yang sudah dialami oleh Menkopolkam Wiranto yang ditusuk terduga teroris Abu Rara. Abu menganggap pemerintah adalah thaghut yang harus dibasmi. Padahal pemerintah Indonesia bukanlah thaghut , karena Wiranto yang diserahi tanggungjawab sebagai menteri  menjalankan fungsi pemerintahan dengan koridor kebangsaan yang benar dan tidak zalim.

Peristiwa ini layak untuk menjadi peringatan soal bagaimana cara pandang masyarakat terhadap pemerintah. Terlebih sudah sekitar 20 tahun kita berada di alam demokrasi. Ibarat anak, dia kini adalah dewasa muda dan sudah melampaui masa remaja Sudah semestinya sang dewasa muda ini paham mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Menganggap pemerintah adalah thaghut jelas merupakan hal yang salah. Selesai masa Orde Baru dan masuk pada era reformasi, kita diberi kemerdekaan penuh untuk bisa mengekspresikan apa yang kita mau dan ingin dilakukan, dimana ketika Orde Baru hal itu tidak bisa kita lakukan. Dan teknologi mendukung sehingga kita bisa lihat bagaimana informasi itu bisa dengan cepat menyebar menjakau daerah dan pihak-pihak yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya. Global village adalah situasi kita saat ini.

Dengan kemudahan informasi yang bisa kita peroleh itu kita bisa banyak belajar dan memperoleh informasi sebanyak kita mau. Memanga da sisi positif dan negative. Sisi positif, kita bisa memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Sedangkan sisi negatifnya karena banyaknya informasi kemungkinan kita tidak sanggup menfilter informasi negative atau tidak cocok untuk kita atau bangsa kita.

Salah satu faham yang kurang cocok dengan bangsa kita adalah faham agama yang radikal. Faham ini biasanya mengajarkan agar selalu menjunjung ajaran agama tanpa pandang situasi apapun. Hal ini agak sulit diterapkan di negara kita yang penuh dengan kemajemukan dan pemerintah yang melayani banyak orang atau pihak. 

Karena itu oraganisasi sebacam Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) memang tidak cocok diterapkan di Indoensia.  Karena oraganisasi itu tidak memungkinkan untuk berkembang di tempat majemuk seperti Indonesia.

Jika pemerintah mengakomodir kepentingan golongan lain, itu tidak berarti kita disepelekan oleh pemerintah. Hanya saja pemerintah harus melayani pihak lain yang kedudukannya sama dengan kita. Itu sebabnya tak ada alasan untuk mengatakan bahwa pemerintah kita itu taghut, dan kemudian berusaha mencelakai salah seorang menteri.

Sehinga kita harus kembali meriview pemikiran kita soal kita, agama, bangsa dan negara serta pemerintah. Tak mungkin negara sepluralis Indoenesia dipaksa untuk menerima satu keyakinan saja dan merasa bahwa pemerintah kita ini taghut. Itu adalah pemikiran radikal yang tidak seharusnya kita miliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline