Lihat ke Halaman Asli

Didi Jagadita

pegawai swasta

Ruang Belajar Politik di Kampus

Diperbarui: 14 November 2018   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

suarasosmed.info

Banyak orang terpana ketika banyak media memberitakan maraknya radikalisme di Indonesia. Banyak dari mereka berkecukupan secara finansial, pernah mencicipi kuliah di perguruan tinggi dan punya keluarga yang terlihat harmonis. Kedengarannya ideal.

Tapi kenyataan yang terjadi adalah mereka melakukan kekerasan atas nama agama atau ideology tertentu. Kita mendengar ditemukannya bom di kampus, bom yang dibuat oleh para alumnus universitas terkenal. Yang mencengangkan lagi adalah beberapa dosen bahkan berstatus guru besar yang bersimpati kepada ideology radikal seperti HTI. Dosen-dosen itu sebagian sudah dinon- aktifkan dari kegiatan mengajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Jawa.

Kenyataan ini membuka mata kita bahwa radikalisme dan intoleransi tidak saja menyasar kaum ekonomi lemah atau orang-orang miskin. Selama ini sepertinya berlaku premis bahwa radikalisme tumbuh subur pada masyarakat yang kurang berpendidikan dan papa. Tetapi ideology yang tak tepat juga menyasar orang-orang dengan pendidikan cukup baik.

Kader-kader yang selama ini bersembunyi karena situasi politik Negara yang tidak memungkinkan adanya keterbukaan. Ide-ide terpasung dan menjadi ganjalan bagi penguasa, jika ide itu tidak sejalan. Tapi sebenarnya itu adalah masa dimana radikalisme tumbuh dengan subur. Melalui kontak-kontak rahasia dan eksklusifitas hubungan antar manusia. Nyaris selama 32 tahun, pembiaran terhadap radikalisme ini terjadi.

Angin reformasi yang bertiup di Indonesia juga turut mempengaruhi semangat orang untuk menerima perubahan. Hal ini ditambah dengan kemajuan teknologi menjadikan segala sesuatu menjadi tak terbatas. Semua menjadi mengglobal tanpa ada sekat-sekat.

Atas nama teknologi, keterbukaan, ideology yang tak cocok dengan kondisi Indonesia itu masuk ke Negara kita. Banyak masyarakat menerimanya karena dianggap ideology murni tanpa ada adaptasi kultur dengan budaya Indonesia.  Sehingga menghilangkan konteks keIndoensia-an itu sendiri.

Karena teknologi, ideology itu lalu berkembang dengan sangat cepat  di dalam Negara kita ini. Atas nama demokrasi orang mulai menyebar-nyebarkannya kepada orang lain. Mereka mengatakan menyebarkannya dengan alasan bahwa itulah ideology murni dari Negara asal.

Kondisi ini membutuhkan penanganan serius. Karema layak jika Pemerintah turun tangan melalui Permenristekdikti no 55 tahun 2018 tentang  Pembinaan Ideologi Kebangsaan dalam Kegiatan Mahasiswa di Kampus. Ini membolehkan beberapa organisasi kampus semacam PMII, HMI , GMKI, PMKRI dll. Itu adalah  ruang bagi par mahasiswa untuk berdiskusi dan belajar politik. Karena nyata sekali, semakin diprepresi, maka politik mahasiswa menhadi tidak terkendali. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline