Negara yang berlandaskan hukum seperti indonesia mewajibkan seluruh warga negaranya untuk taat hukum. Sebagai subyek hukum, seorang warga negara, apapun jabatan dan kedudukannya sama posisi dan derajatnya di mata hukum. Distribusi keadilan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, dan harus dipatuhi tanpa kompromi apapun. Hukum berfungsi sebagai patokan dan acuan utama seorang warga negara dalam melakukan kewajiban statusnya dalam Citizenship.
Hukum yang berlaku bagi siapapun tanpa terkecuali menunjukkan tidak ada subyek hukum yang kebal hukum. Apapun posisinya dan jabatannya, jika ada panggilan untuk memenuhi kewajiban hukum, maka kewajiban tersebut harus dipenuhi. Hari ini ada pemanggilan untuk Sylviana Murni terkait dugaan korupsi pembangunan Masjid Al-Fauz.
Saat mesjid itu dimulai pembangunannya Sylvi menjabat sebagai Walikota Jakarta Pusat (2008-2010). Sylvi tentu memegang keterangan penting terkait biaya pembangunan Masjid Al-Fauz yang mencapai 32 Milyar! Status Sylvi sebagai saksi dan kasus yang sudah berstatus penyidikan membuktikan kasus ini harus segera diusut kebenarannya. Kooperasi pihak-pihak yang terlibat sangat dibutuhkan untuk menguak kebenaran dalam sebuah kasus.
Namun, respon dari orang-orang disekitar Sylviana sangatlah mencengangkan, Sylvi sedang menjadi Cawagub bersama AHY dalam Pilkada DKI mendatang. Status Cawagub dan Pilkada yang sudah semakin dekat dijadikan ‘alasan’ oleh partai pengusung Paslon nomor urut 1 ini agar proses hukum ditangguhkan sampai Pilkada selesai. Entah dimana pemahaman mereka akan kewajiban hukum seorang warga negara. Jika Kepolisian sudah melayangkan surat pemeriksaan, wajib hukumnya untuk mengikuti proses hukum sesuai prosedur tanpa terkecuali.
Alasan Pilkada DKI menurut saya malah membahayakan elektabilitas AHY-Sylvi. Bayangkan jika pada akhirnya Sylvi mangkir dari kewajibannya sebagai saksi, apakah merupakan hal yang baik menunjukkan sikap semacam itu? Mengabaikan kewajiban hukum demi alasan politik praktis. Pernyataan dari Partai Demokrat ini malah menimbulkan asumsi bahwa kasus ini akan menyeret Sylvi cukup dalam sehingga ditangguhkan saja dulu, setelah Pilkada baru dipikirkan kelanjutannya.
Lebih jauh lagi, Demokrat beranggapan kasus ini bertujuan sebagai kriminalisasi dan usaha menjatuhkan elektabilitas. Padahal sudah sangat jelas Bareskrim menemukan kejanggalan dan menegaskan bukti yang ada sudah cukup untuk memperkarakan kasus dugaan korupsi ini.
Sangat disayangkan, saat Basuki (Ahok) dengan lapang dada menerima dugaan kasus hukum yang menimpanya, Sylvi malah berusaha ‘kabur’ meski masih berstatus saksi dan tidak mau proses kampanyenya terganggu. Apalagi susbtansi dakwaan kasus Sylvi lebih jelas yaitu dugaan korupsi pembangunan Masjid. Jelas hal ini penting untuk segera diusut karena dari segi ketatanegaraan, korupsi memberikan kerugian materiil dan moril yang tidak sedikit, apalagi jika dilakukan oleh aparatur negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H