Lihat ke Halaman Asli

Maraknya Pernikahan Dini, Akibat Terlalu Lama Pandemi

Diperbarui: 9 Agustus 2022   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan dini menjadi salah satu dari sekian masalah sosial yang dihadapi Indonesia dan masih terus dicari cara penyelesaiannya. Belum selesai masalah, malah makin marak karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda seluruh penjuru dunia.

Pandemi yang menyebar secara pesat ke seluruh penjuru negeri menyebabkan pemerintah mengambil langkah cepat dengan mengganti metode belajar siswa menjadi daring (dalam jaringan). Penggunaan media online untuk proses belajar mengajar ini bertujuan untuk menghindari rantai penularan Covid-19 pada siswa - siswi di sekolah. Meski sangat mendadak dan serba belum siap, seluruh elemen pendidikan, mulai dari guru, siswa, metode pembelajaran, hingga akses pembelajaran dipaksa untuk melakukan sistem baru tersebut.

Pandemi yang terjadi menahun ini sayangnya menimbulkan kejenuhan. Hal ini dialami para siswa yang setiap hari belajar di rumah tanpa interaksi bersama teman sebayanya. Sedikit demi sedikit siswa -- siswa ini mulai kehilangan semangat belajarnya. Selain itu, masih rendahnya akses internet di pelosok menjadi kesulitan lain dalam belajar.

Satu per satu mulai bermunculan berita tentang pernikahan dini yang ramai terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Semakin hari semakin tampak layaknya diwajarkan oleh masyarakat. Undang -- undang yang telah dibuat pemerintah juga mau tak mau mengalah ketika orang tua kedua pihak pengantin mengajukan berkas-berkas yang mendukung pernikahan dini tersebut dilegalkan dengan alasan mendesak.

Pernikahan dini menjadi masalah karena dapat berdampak buruk pada kesehatan. Resiko penularan HIV/AIDS meningkat karena kemungkinan rendahnya pengetahuan tentang penggunaan kontrasepsi dan seks yang aman. Selain itu, resiko penyakit kelamin meningkat karena organ-organ reproduksi pada anak di bawah umur masih belum siap. Resiko kehamilan juga menjadi faktor lain buruknya pernikahan dini. Akibatnya, janin yang lahir prematur dan memiliki berat badan di bawah normal.

Resiko kekerasan seksual, fisik, maupun verbal juga menjadi dasar dilarangnya pernikahan dini. Hal ini karena anak di bawah umur masih sulit untuk mengendalikan emosinya, sehingga mudah terbawa rasa marah dan ego mereka.

Pemerintah dan pemerhati anak di berbagai daerah terus menyerukan untuk stop pernikahan dini. Upaya pencegahan terus dilakukan dengan memperkuat undang-undang dan pemberian himbauan pada aparat pemerintah desa dan daerah. Selain itu, terus dilakukan sosialisasi pada media sosial untuk memberikan edukasi dasar pada anak-anak.

Meski pemerintah dan relawan-relawan mulai dari pusat hingga daerah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menekan angka pernikahan dini, peran orang tua dan keluarga tetap menjadi yang utama dalam mengurangi terjadinya pernikahan di bawah umur. Maka dari itu, pentingnya kesadaran dan pengembangan pola pikir pada orang tua perlu ditingkatkan. Sehingga anak dapat terhindar dari resiko-resiko pernikahan dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline