Lihat ke Halaman Asli

Deras Ternyata Rindu Mengalir

Diperbarui: 24 Desember 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

: Adinda

Oleh: HE. Benyamine

Ketika hujan itu, kau menatap tanpa binar, hanya linangan yang merembes sesaat aku mengatakan badai telah menetap dalam dadaku, kau genggam tanganku bukan karena mendengar apa yang telah kuucapkan, tapi rindumu, ya rindumu bagai gemuruh yang terdengar saat kau menutup kedua telingamu dengan kedua tanganmu. Aku menatap rindumu: hujan ini rasanya.

Malam menahan tetes deraimu, teramat singkat gerimis saat ini, kau tak sanggup kusembunyikan, lebih deras ternyata rindu mengalir dari sumber batinku yang lepas menggenang di kelopak keterpejamanku.

Mendung menyapu langit, kau mungkin tak tahu rinduku bagai matahari yang terus bersinar meski terhalang kabut dan gelap, kedua telaga di wajahku meluap seketika sebelum mendung itu melambai pada langit saat kau sembunyi dalam lamunanku

Selalu saja angin bergerak menjauh meski yang mendekat tak berbeda, kau datang bagai rintik yang tertahan, dan bunga itu tak sempat menatap pagi ketika semerbaknya melamunkan rinduku mengikuti jejak angin yang membawanya ke luasan yang berdinding. Hanya senyummu yang mengusap ikatan aliran rintik-rintik di mataku.

Selalu saja embun melepaskan wujudnya ketika tersentuh mentari, melayang tak berbayang, biar rindu menemu peraduan, sepasang telaga meluap bagai mengikuti jejak bayanganmu yang tertelan limpasan hujan. Kau tersenyum melintas di deraian gerimis, aku mulai menyeka penghalang pandang yang menderas; hujan terkurung mimpi

Selalu saja terik mentari menemukan deraian air di sekujur tubuhku, ketika kau menyembunyikan kulitmu dari sengatan tatapanku, gemuruh di dadaku membasuh sengatan terik mentari meski silaunya menyembunyikan genangan di pelupuk mataku, kau terus diam seraya mekarkan payung, entahlah apa kau menemukan kegelapan untuk terus sembunyi dari sengatan mataku.

Selalu saja mendung menahan tetesan, kau menahan kerinduan dari rasa jauh, menggenang di lubuk dalam dada, aku tak mengenal tempat sembunyi, sehingga riak yang menyeruak di kelopak mataku tiada lain rindu yang mengalir ketika guntur membuyarkan rasa terdekat denganmu. Mendung tetap bertahan, aku mendahuluinya setetes demi setetes yang hangat.

Selalu saja berkilau daun-daun mendapat sentuhan lembut mentari, kau mungkin tidak pernah tahu selalu bersamaku, sungai rindu dalam diriku mengalir tenang, meski embun lebur di pelupuk ketika sentuhan lembut mentari mengingatkan pagi kembali datang.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline