Lihat ke Halaman Asli

Kota Gaib Saranjana dalam Elegi Eko Suryadi WS

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh: HE. Benyamine

Memasuki elegi Eko Suryadi WS sungguh terasa senandung yang mengandung ratapan, yang secara langsung mengajak orang yang masuk menjadi bagian berbagai peristiwa yang melatarinya, namun berbagai kelemahan dan keterpurukan dapat begitu apik disembunyikan hingga tiada yang membuat orang yang masuk menjadi bagian tersebut menjadi lemah dan larut dalam kesedihan; malah yang ada ketegaran dan perjuangan yang tiada kata menyerah.

Hal ini nampak pada pandangannya dalam puisi Bajau pada lirik-lirik: Lautmu adalah kelahiran/Daratan mimpi kematian/Berlayarlah dengan waktu/ Tak kembali kembali.

Dalam kumpulan sajak Elegi Negeri Seribu Ombak (ENSO), terbitan Framepublishing tahun 2010,  Eko Suryadi WS (ESWS) melalui puisi-puisi di dalamnya mampu menghadirkan sosok yang peka dan terlibat dalam berbagai peristiwa yang dialaminya. Keterlibatan diri sang penyair dalam ruang dan waktu nampak terlihat dalam hampir semua puisi dalam buku ini, yang terkadang tidak terlihat sebagai tanggapan personal namun lebih cenderung sebagai tanggapan komunal yang mampu diartikulasikan sang penyair.

Memperhatikan puisi-puisi yang dihadirkan ESWS dalam buku ini, nampak terlihat begitu kentara pandangan sang penyair terhadap ruang dan waktu serta peristiwa yang terjadi. Di sini, ESWS lebih mengutarakan apa yang disaksikannya, yang tentu saja mengusik batin dan kepekaannya atas berbagai peristiwa yang terjadi; yang cenderung meninggalkan luka. Hampir sebagian besar puisi-puisi dalam kumpulan ini mengacu pada luka, baik yang langsung diungkapkan sebagai luka maupun yang samar dengan menghadirkan rasanya seperti nyeri dan pedih. Tanggapan sang penyair terasa lebih cenderung, yang dalam filsafat, pada ranah aksiologi yang lebih menggali hal-hal yang berhubungan dengan etika dan estetika; yaitu bagaimana seharusnya manusia bertindak dan tentang kebenaran dari dasar tindakan itu, dan tentunya mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan.

Di samping itu, pandangan sang penyair, ESWS, dengan memperhatikan puisi-puisi yang cenderung bermuatan kritik sosial, memperlihatkan pandangan berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge), di mana segala sesuatu merupakan satu kesatuan dan saling terhubung, manusia merupakan bagian dari alam. Pandangan ini cenderung tidak sepaham dengan pandangan antroposentris, yang cenderung manusia terpisah dengan alam, yang menguasai alam untuk kepentingannya sendiri. Kecenderungan ini dapat dilihat dari pilihan kata-kata, seperti semesta berduka dalam puisi Tanjung Dewa, atau Akan ke mana perginya kita dalam puisi Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima, dan menjadi semestaku serta adakah semestaku dalam puisi Elegi Negeri Seribu Ombak.

Pada puisi Saranjana, lebih terlihat pandangan sang penyair yang tidak antroposentris, tapi eksistensi manusia merupakan bagian dari alam. Saranjana merupakan kota gaib sebagai cerita mistis masyarakat tentang sebuah kota yang sudah maju, bagai mitropolis,  dengan penduduk yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng di desa pada Kecamatan Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru.

Dengan larik, Di puncak-puncak keniscayaan kau bangun gerbang/Pembatas duniamu dan para juriat, jelas menunjukkan adanya dua dunia yang berbeda dengan batas yang dianggap jelas dan dipercayai oleh sebagian masyarakat. Dalam puisi Saranjana ini nampak sang penyair mencoba masuk pada mitos tersebut, dengan pengharapan untuk saling menjaga dan berkasih sayang antara dua dunia tersebut, sebagai bagian dari pandangan bahwa manusia bagian dari alam sebagaimana pandangan berdasarkan pengetahuan lokal; pengetahuan yang dekat dengan lingkungan sekitar yang bersifat unik dan spesifik tempatan.

Hampir sebagian besar puisi, untuk tidak mengatakan seluruhnya, puisi-puisi ESWS yang terhimpun dalam ENSO ini, lebih banyak bercerita tentang yang telah lewat, berlalu, masa lalu, dan yang meskipun ada cerita dengan menggunakan kata sebelum tetapi tetap saja telah berlalu, seperti dalam puisi Sebelum Halimun yang bercerita tentang resiko sebagai manusia yang mengarungi lautan, dengan larik: menunggu kepulangan/halimun bergulung turun/mengantar ruhmu menaiki perahu/menuju laut, yang juga merupakan setelah kejadian yang baru tersingkap setelah halimun menghilang.

Begitu juga dengan penggunaan kata luka, yang hampir semua puisinya berbicara tentang luka, baik secara langsung atau melalui metafor dan tentunya disandingkan dengan laut yang menambah perih luka-lukanya, seakan ESWS dalam perjalanan hidup ini penuh dengan luka-luka, namun seperti anak kecil yang belajar berjalan harus jatuh bangun dengan luka-luka didapat tetap saja teguh terus berjalan; luka bagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang lumrah dalam perjuangan.

Dalam puisi Terbanglah Kuat-Kuat Ke Langit Lukaku, terasa begitu kuat cerita tentang luka tersebut sebagai sesuatu yang bukan penghalang dalam hidup dan kehidupan,  seperti dalam larik: Terbanglah kuat-kuat ke langit lukaku/kunyahlah anyir darah perihnya/nikmati makan malammu/sedekat gigitan sedekat kerlingan/simpan di mejamu, dan larik berikutnya: tanpa kusentuh/kenyangnya tiba.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline