Lihat ke Halaman Asli

Meramu Keabadian

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

: keep smile as

Hujan menemui rindu, menggenggam impian tatapan mistis/sinar matamu menyimpan kegundahan kaum papa/selalu kau sembunyikan kegelisahanmu, menembus luasan tak bertiang/melapangkan hatimu saat hujan itu melewati bendung matamu/seakan hawa dingin tenangkan langkahmu/menetap genggaman tanganmu, rasa tak ada perhentian.

Hujan menjadi terdakwa, seakan pelaku kejadian malapetaka juga kemalangan/disandera keserakahan hingga kemurkaan/tatapan matamu membebaskan hujan/sepasang matamu berbinar ketika bicara perlawanan/meski kadang ada gerimis di bening tatapanmu/hatimu kokoh, yakin kapal Nuh bukan kisah terpisah dari hujan/teriris kesadaranmu menghadapi penidasan/di mana tragedi menghukumku ketika kesadaranku tiada senyummu.

Hujan terbakar rindu, kaum papa memanggil pembelanya/rintik di telaga matamu/meramu keabadian penawar kecemburuan waktu/genggaman tanganmu merupa hujan puisi/melukis ruang takutku meleburdalam aliran ketulusan/bergerak bebas menyusuri sungai, muara, danau, rawa, belantara, padang, sabana, sumur-sumur kaum papa, dan ruang hatiku.

Banjarbaru, 27 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline