Lihat ke Halaman Asli

Ironi Negeri yang Selalu Kalah di Kandang

Diperbarui: 20 September 2016   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: www.webtretho.com

Ada satu hal yang bisa membedakan kebanyakan orang Indonesia dengan kebanyakan orang luar negeri, yaitu bagaimana cara mereka mencintai negeri mereka sendiri. 

Saya pernah berbincang dengan seorang keturunan tionghoa berkebangsaan Malaysia. Beliau tinggal di sebuah kota besar di sana, Johor Baharu. Pertama-tama ia bertanya, "Mengapa kota Surabaya ini tidak maju, tidak banyak mall atau plaza atau bangunan tinggi?". Lantas saya jawab, "Maaf, ini di pinggir kota Surabaya, di tengah kota akan ada banyak sekali (karena memang jalan menuju bandara Juanda masih berupa toko-toko kecil)". Saya melanjutkan, "Bukannya di Johor Baharu juga seperti ini? (karena waktu saya ke sana sekilas mirip Surabaya)". Lantas dia mengamuk, "Tidak, di Johor Baharu lebih bagus dari sini, di sana lebih maju kehidupannya". Daripada pembicaraan memanas, saya menghentikan dialog saya dengan mengiyakan perkataannya.

Ini yang saya dapati, sekalipun beliau warga keturunan, beliau sangat menghargai segala perkembangan kota nya yang menurut saya tidak sebagus yang dia pikirkan. Sedangkan apa yang orang kita lakukan? Seringkali mengutuk. Benar apa benar? 

Saya ambil contoh ini, sebagai salah satu negara terdepan di ASEAN kita sudah tertinggal 25 tahun dengan kota-kota besar lain di Asia tenggara untuk pembangunan metro system atau angkutan massal cepat (AMC). Ketika Jokowi dan Ahok benar-benar serius untuk menggarapnya, bukan sekadar wacana, apa tanggapannya? Banyak orang nyinyir berkata "tidak mungkin", "sulit menyaingi Luar negeri", "ah, paling awalnya saja nanti toh tidak jalan". Apakah mereka warga negara yang baik? Mereka justru membebani pembangunan negara dengan perkataan negatif mereka. Mereka tak ubahnya dengan orang yang meludah di kamar mereka sendiri.

Mereka ingin negeri mereka berubah tetapi tidak mau mengubah diri mereka. Mereka hanya penonton, tidak mau berjuang.

Banyak orang di negeri ini menghina golongan tertentu sebagai antek asing, tetapi mereka tidak mau menggunakan produk dalam negeri. Bahkan brand lokal yang sekalipun pabrik nya di luar saja tidak mau. Malahan mereka menghina segala karya anak bangsa. Bukankah mereka yang seperti ini merupakan antek asing? Berbicara tanpa mau berpikir. Barangkali bisa langsung terpilih jadi duta besar di negeri orang.

Lebih baik ada kemajuan kecil terus-menerus daripada stagnan lalu terjadi revolusi.

Ketika ada perubahan kecil, kita tidak akan shock seketika. Malahan kita menikmati proses. Ketika langsung terjadi revolusi, apakah kita siap? Perubahan kecil dibilang tidak signifikan, revolusi dibilang menyengsarakan. Ini buah simalakama yang sudah menghipnotis bangsa kita. Kita terlalu lama dininabobokan dengan segala kenyamanan. Dibiarkan mengomel, mengeluh, dan bersungut-sungut tanpa tahu seutuhnya. Kita hanya seperti anak kecil yang merengek-rengek. Semua itu membuat kita kalah di kandang sendiri, yang lain bekerja, kita sibuk berargumen, saling caci maki, berbicara tanpa tujuan, yang menghabiskan waktu hidup sehingga lupa waktu untuk bekerja. 

Sampai kapan kita seperti ini? Kita harus bangkit! (/hdr)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline