Lihat ke Halaman Asli

Darwanto

Pria manula, purnabakti PNS

Agar Negara Tidak Defisit Pangan

Diperbarui: 9 Mei 2020   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: www.dictio.id

Di WAG yang saya ikuti, ada postingan tentang defisit pangan saat ini. Ditunjukkan di situ banyaknya provinsi yang mengalami defisit beras, bawang putih, jagung, gula pasir, cabai besar, telur ayam, dsb. Misalnya ada 22 provinsi yang saat ini mengalami defisit telur ayam, 23 provinsi defisit cabai besar. Dan hampir semua provinsi defisit bawang putih dan gula pasir.

Dijelaskan di situ bahwa defisit itu terjadi karena menurunnya impor akibat lockdown yang dilakukan di negara-negara asal komoditas tersebut.

Yang mengusik perhatian saya adalah banyaknya daerah yang mengalami defisit cabai besar, bawang putih dan jagung. Ketiga komoditas pangan ini tidak sulit diproduksi di daerah manapun, karena tidak memerlukan persyaratan jenis tanah dan iklim yang khusus.

Jika terjadi defisit suatu komoditas pangan di suatu negara maka berarti petani di negara itu tidak mendapat insentif untuk menanam tanaman tersebut. Tidak adanya insentif karena biaya produksi lebih besar dari harga jual.

Harga jual komoditas ex-impor lebih murah dan kualitasnya lebih baik karena produktivitas petani di negara asal impor lebih tinggi daripada di dalam negeri. Ada lingkaran sebab akibat sehingga beberapa komoditas harus diimpor dan petani lokal tidak berdaya.

Pada saat ada wabah seperti saat ini, konsumen menjadi kesulitan, tidak bisa membeli karena tidak ada barang atau bisa membeli namun harganya lebih tinggi.

Keadaan ini sebetulnya bisa menguntungkan petani lokal dengan memperluas lahan untuk menanam jagung, cabai dsb. Namun petani tidak melakukan itu karena khawatir jika lockdown dicabut, harga komoditas itu akan turun kembali.

***
Di masa depan, defisit komoditas pangan pokok harus dihindari dengan memproduksi sendiri komoditas tersebut. Strategi substitusi impor dapat diberlakukan agar tidak terjadi defisit seperti saat ini.

Substitusi impor perlu dirancang secara cermat agar berkelanjutan. Kegagalan strategi substitusi impor di masa lalu karena produsen menikmati insentif yang diberikan pemerintah tetapi tidak melakukan perbaikan manajemen produksi sehingga produktivitasnya tetap rendah, kalah dari negara lain.

Akibatnya konsumen dirugikan, yaitu harus membeli produk lokal yang harganya tinggi namun kualitasnya rendah. Selama bertahun-tahun, produsen menikmati harga yang tinggi.

Namun suara konsumen yang nyaring dan desakan internasional menyebabkan pemerintah terpaksa membebaskan perniagaan komoditas tersebut, dan mundurlah produsen lokal satu per satu. Semakin besar impor, semakin rendah ketahanan pangan suatu negara, seperti yang kita alami saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline