Pandemi dan Hilangnya Sebuah Generasi
Sebuah pendidikan yang paripurna adalah ketika penyampaian pengetahuan mampu bertemu dengan tatap muka dan sinar pancaran mata antara peserta didik, sebagai objek pendidikan, dengan pendidik sebagai subjek. Pendidikan yang dalam bahasa Yunani adalah "pedagogik" yaitu ilmu menuntun anak, lalu orang Romawi memandang pendidikan sebagai "educare", yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia, dan dalam bahasa Jerman pendidikan dikenal sebagai "Erzichung" yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak, menjadi bukti mulianya sistem pendidikan tercipta sebagai upaya untuk membangun peradaban insan kamil.
Bahkan, di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tertuang bahwa pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Berlandaskan pada UU inilah setiap proses pendidikan yang dilakukan harus memiliki dasar pijakan yang sama sehingga setiap langkah dalam kegiatan pendidikan bisa mencapai tujuan utama pendidikan seutuhnya.
Dengan adanya kombinasi sempurna antara upaya perencanaan proses yang matang, dengan sentuhan kasih sayang seorang pendidik terhadap anak didiklah yang menjadikan sebuah proses pembelajaran berjalan ke arah pembentukan generasi insan kamil. Bukan semata proses pendidikan sebagai simbol yang diagungkan, melainkan sebuah perjalanan proses kesinambungan antara rencana dan langkah nyata pendidikan yang "mendidik". Bukan sebatas proses timbal balik memberi-menerima. Perencanaan yang terorganisasi dengan baik akan melahirkan langkah kerja yang tersusun, yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah program nyata, bukan pelaksanaan pendidikan yang seadanya.
Dewasa ini dunia pendidikan kita pada khususnya, dan pendidikan dunia pada umumnya, sedang mengalami sebuah cobaan terhadap perencanaan serta implementasi pendidikan paripurna. Mereka yang berhasil merencanakan, maka merekalah yang akan merasakan hasil. Mereka yang terbuai hanyut dalam zona nyaman pandemi, maka rasa sesal yang dituainya.
Barangsiapa kini, pada saat ini, mereka tetap berjuang, berprogram dan berupaya meningkatkan potensi di tengah pandemi, maka dipastikan suatu saat ketika bertemu dengan orang di belahan dunia manapun yang saat ini malah tenggelam nyaman dalam jurang pandemi, dengan program "asal sampai materi ke anak", maka bisa dipastikan yang beprogramlah yang akan menang. Menang yang bukan hanya sebatas angka, melainkan terlaksananya segala program memanusiakan manusia dalam proses pembelajaran.
Pandemi telah menjadi jalan terjal bukan semata untuk siswa sebagai objek, namun bagi sebagian besar pendidik pun telah menjadi tebing tinggi penghalang proses penyampai alur pendidikan. Siswa sebagai objek, yang seharusnya mendapatkan pola pendidikan yang menyeluruh secara kognitif, afektif dan psikomotor, terbentur pada berbagai keadaan tak menentu yang tak dapat disangkal menjadi penghalang besar dalam menggapai kesempurnaan proses pendidikan.
Bagi siswa yang berada di perkotaan atau dengan kemampuan ekonomi yang memadai, mampu menyediakan berbagai sarana penunjang untuk pembelajaran secara daring, pandemi takkan menjadi kerikil tajam yang menghalangi proses pendidikan. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mampu melahirkan karya dan mengembangkan proses kreatif mereka.
Namun bagi mereka yang berada di pedesaan, atau daerah dengan kekuatan sinyal yang terbatas dan bahkan dengan kemampuan ekonomi yang tak menentu, pandemi telah menjadi sekat pemisah ruang dan waktu bagi mereka untuk mendapatkan akses pendidikan yang sempurna. Jangankan untuk mengakses pembelajaran daring, untuk sekadar memiliki telepon pintar pun, mereka tak mampu.
Apalagi untuk menyimpan berbagai aplikasi yang dibutuhkan dalam pembelajaran yang tak sedikit memakan ruang penyimpanan. Maka tak sedikit orang yang beranggapan bahwa di masa pandemi ini, "Orang kaya makin pintar, Orang tak punya semakin terinjak".
Bagi mereka, pandemi telah menjadi badai yang menerpa, tak sebatas pengetahuan yang disampaikan sudah tak lagi menjadi sebuah ilmu yang didapat, tetapi telah menerjang pada terhambatnya perkembangan psikologi remaja seiring berkurangnya "sentuhan" kasih sayang seorang pendidik kepada anak didiknya. Pertemuan virtual tak mampu menggantikan kasih sayang nyata serta perhatian seorang guru terhadap siswanya.