SUATU siang yang panas, beberapa mahasiswa saya --terutama yang perempuan-- mengusap pipinya dengan mata sembab, menangis, setelah menyaksikan film Veronica Guerin. Hari itu, saya sengaja "meliburkan" kuliah bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning (Unilak) yang mengambil mata kuliah Jurnalistik.
Hari itu mereka saya ajak menyaksikan film tentang perjuangan wartawan perempuan asal Dublin (Irlandia) yang mati di tangan para penembak jitu suruhan bos kartel obat bius.
Mulanya, beberapa mahasiswa bertanya --apa hubungan mata kuliah yang saya asuh dengan sebuah film?-- ketika saya katakan, pekan depan kami akan nonton film bersama. Setelah menyaksikan film bersama-sama, beberapa dari mereka mengatakan: "Betapa mulianya dunia jurnalistik... Betapa hebatnya wartawan itu: Veronica Guerin..."
Film ini diangkat dari kisah nyata seorang wartawan perempuan dari Harian Sunday Independent, Veronica Guerin. Adegan awal film ini memperlihatkan Veronica --yang dimainkan oleh Cate Blanchett-- sedang menyetir mobil sambil menelpon rekannya. Dia baru saja menghadiri persidangan atas pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) miliknya. SIM-nya dicabut karena ngebut di jalanan. Namun, sesampai di lampu merah, dua orang bersepeda motor melepaskan beberapa tembakan yang menembus kaca jendelanya, dan juga menembus tubuhnya.
Veronica adalah potret jurnalis pemberani. Dia melakukan investigasi tentang kejahatan narkotika dan obat terlarang di Dublin yang sudah sangat parah dan merambah anak-anak. Pelan tapi pasti, hasil liputannya membuat para bandar narkoba kelimpungan dan melakukan teror kepadanya. Yang pertama, dua orang menyambangi rumahnya dan melepaskan dua tembakan yang menembus jendela rumahnya. Yang kedua, seorang pembunuh dikirim untuk menghabisinya. Untungnya, yang tertembak hanya kakinya. Dua teror itu secara psikis memang mempengaruhi jiwanya, tetapi keinginannya untuk membongkar jaringan narkoba itu tak berbenti, hingga berondongan peluru menembus kaca mobil dan tubuhnya, dan membuatnya mati pada 26 Juni 1996.
Namun, kematiannya memicu demo besar-besaran rakyat Irlandia di Dublin dan memaksa pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang pemberantasan narkoba secara besar-besaran. Banyak bos narkoba yang kemudian ditangkap dan dipenjara, dan banyak yang ditembak mati karena melawan.
Di belahan benua lainnya, di Amerika Latin, tepatnya di Kolombia, kisah perjuangan wartawan diceritakan oleh Maria Jimena Duzan, seorang wartawati Harian El Espectador, yang selamat dari teror kartel obat bius yang sudah mendarah-daging di negeri itu. Saking seringnya mendapatkan teror, dia sampai mengatakan, "Saya merasa seperti telah mendapatkan gelar Ph.D dalam soal kematian," katanya, seperti ditulis Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya di Tempo, 2 Juni 1990.
Kita semua tahu, negeri macam apa Kolombia dalam hal obat bius. Kita juga tahu, orang seperti apa Pablo Escobar yang menjadi bos dari semua bos obat bius di sana. Dia tak hanya ditakuti oleh sesama kartel, tetapi juga ditakuti oleh tentara dan pejabat pemerintah. Bahkan banyak dari mereka yang akhirnya memilih bekerja sama menikmati bisnis itu. Dia tak segan membunuh di depan publik, menculik, dan segala bentuk kriminalitas lainnya bagi yang menentangnya. Dalam buku Catatan-Catatan Penculikan yang ditulis Gabriel Garcia Marquez menjelaskan betapa kuat dan kejamnya seorang Pablo Escobar.
Banyak jurnalis yang mati karena mencari tahu dan menulis tentang obat bius. Lima wartawan investigasi rekan Maria di El Espectador mati terbunuh saat kantor El Espectador dibom, yang membuat Maria memutuskan untuk hidup di pengasingan, di Paris, dengan membawa kesedihan, kemarahan, kegeraman. Sebab, salah satu wartawan yang mati itu adalah adik kandungnya sendiri: Sylvia Jimena Duzan.
Veronica, Maria, Sylvia, dan ratusan jurnalis lainnya di seluruh dunia, telah menjadikan dunia jurnalistik sebagai jalan perjuangannya, "jalan pena": bahkan mempertaruhkan nyawanya. Namun di belahan dunia yang lain, ketika kebebasan pers dibuka dan siapa saja boleh memiliki media massa, "jalan pena" itu sudah semakin absurd. Media mudah kalah oleh mafia pengadilan, mafia anggaran, kekuasaan yang anti-kritik, maupun para penjahat kerah putih yang berada di mana-mana, yang menyaru menjadi ustaz atau pendeta.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H