Lihat ke Halaman Asli

Mau Apply Beasiswa S2/S3, Haruskah Mengambil Jurusan yang Linier?

Diperbarui: 21 Desember 2021   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri

Untuk menjawab pertanyaan judul di atas, saya ingin bercerita dan menguraikan faktor yang paling berperan penting yang memungkinkan seorang pelamar beasiswa lulus, baik itu mengambil jurusan yang linier dengan S1 nya ataupun tidak.

***

Seminggu yang lewat, pengumuman beasiswa LPDP telah keluar. Kabar baiknya, beberapa teman dekat dan rekan aktifis saya dinyatakan lulus melalui sebuah email. Ucapan selamatpun mengalir dalam berbagai jenis untaian kata. Ada yang memuji dengan mengatakan yang bersangkutan memang inspiratif, ada juga yang menulis dengan menyertai harapan agar bisa memperoleh rezeki yang sama.

Sebagai seorang yang sudah lama mengenal mereka, sayapun tak mau luput merangkai kata lalu membuatnya sebagai konten status sosial media saya. Namun tanpa basa basi yang "basi", saya hanya menuangkan apa yang betul-betul saya ketahui dari diri kawan-kawan yang lulus itu, yakni usaha dan perjalanan hidup yang dilaluinya sehingga bisa meraih pencapaian yang sekarang.

Salah satu yang sudah lama saya garis bawahi soal proses yang mesti dilalui dalam mempersiapkan melamar beasiswa adalah track record atau catatan perjalanan yang lebih bersifat pengabdian/volunteerism. Hal ini semakin saya yakini setelah melakukan riset dan mencoba sendiri melamar beberapa beasiswa.

Tidak ada beasiswa yang saya temukan yang tidak menjadikan itu sebagai catatan penting dalam menilai penerima beasiswa. Lebih-lebih jika visi dari penyelenggara beasiswa itu adalah mencetak pemimpin-pemimpin masa depan seperti visi LPDP, tak pelak lagi yang dibutuhkan adalah mereka yang dengan tulus memberi kontribusi perubahan sosial meski dalam skala yang kecil.

Meski demikian muncul pertanyaan, bagaimana membuktikan pengabdian itu benar-benar nyata bukan sekedar rekayasa menjelang mau melamar beasiswa? Jawabannya sederhana: karya. Karya adalah bukti yang lebih nyata dari sekedar sertifikat dan semacamnya. Malah, sertfikat lebih nampak seperti pernak pernik saja, bisa sebagai bukti namun sulit bisa diukur sejauh mana dampak perubahan yang dibuat oleh karya itu.

Oleh demikian, kita bisa saja menyodorkan bukti fisik berupa sertifikat kepada pewawancara, namun kita jangan lupa menyiapkan bukti-bukti berupa dokumentasi kegiatan, atau bukti-bukti yang bisa diverifikasi kebenarannya sebagai sebuah karya. Perlu saya perjelas, karya yang saya maksudkan bisa berupa karya tulis, karya kerajinan tangan, temuan-temuan teknologi, atau apapun yang penting berasal dari olah fikir kita sendiri yang sekiranya bermanfaat bagi kepentingan khalayak luas.

Namun penting dicatat bahwa karya yang mesti ditonjolkan di dalam beasiswa mesti berkesesuaian dengan rencana studi yang diambil. Sangat keliru bahkan konyol jika dalam rencana studi kita ingin mengambil bidang studi pariwisata misalnya, lalu karya yang kita sodorkan lebih banyak bidang pendidikan. Yang ada, kita pasti akan ditawarkan mengambil bidang pendidikan oleh pewawancara. Kabar buruknya, jika tidak ditawarkan biasanya itu indikator kita tidak akan diluluskan.

Saya dan seorang kawan pernah mengalami kejadian diatas. Kami sama-sama berasal dari studi pendidikan yang mencoba mangadu nasib di beasiswa dengan mengambil jurusan pariwisata (maklum saja, jurusan ini semakin seksi bagi kebanyakan warga lokal semenjak melejitnya pariwisata Lombok). Dua kali mendaftar beasiswa dengan mengambil bidang itu, dua kali itu juga kami gagal. Sebabnya bisa ditebak, pewawancara belum yakin kontribusi atau karya kami sesuai dengan bidang yang kami ambil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline