Ramai-ramai soal ceramah UAS yang mengharamkan seorang muslim masuk ke gereja. Juga tudingan sesat pada film the Santri. Sebabnya, di film itu ada adegan dua orang perempuan berkerudung memasuki sebuah gereja. Padahal tujuannya bukan untuk beribadah. Tapi sekedar mengantarkan tumpeng kepada pendeta di gereja itu. Kasak-kusuk soal masuk keluar gereja ini makin bertambah-tambah ramainya oleh sebuah video. Video itu tentang Gus Miftah yang berpidato pada sebuah gereja di Jakarta.
Kehebohan ini mengingatkan saya pada momen di sekitar tahun 2006 atau 2007. Lupa tepatnya tahun berapa. Hanya yang pasti ketika itu saya bertugas di Palolo. Sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Itu di diakhir tahun. Bulan Desember.
Dalam suasana Natal. Saya diundang oleh Panitia Natal Bersama. Bertempat di Gereja Pantekosta yang di Desa Makmur itu. Ini bukan sekedar undangan biasa. Ada permintaan di dalamnya. Saya diminta memberikan sambutan khusus di acara Natal Bersama itu.
Karena tugas, saya pun datang. Gereja penuh sesak. Membludak sampai ke halaman.Kabarnya jemaat yang hadir bukan hanya dari seputaran Palolo. Jemaat dari Palu dan sekitarnya banyak pula yang hadir.
Setelah jemaat selesai beibadah, saya pun di persilahkan naik podium. Dengan suasana gereja yang semeriah itu, saya tidak sekedar menyiapkan sambutan biasa. Melainkan sebuah pidato yang lalu saya sampaikan dengan penuh semangat.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pidato. Tiga di antaranya kesiapan materi, sound system yang apik dan respon audiens. Di malam hari Natal itu, saya dianugerahi mendapatkan ketiganya.
Bila kesuksesan .sebuah pidato sekedar diukur dari sambutan positif audiens, maka itulah salah satu pidato tersukses saya sepanjang hidup. Hampir selama 20 menit saya berpidato, seisi gereja mengiringinya dengan tepuk tangan meriah. Dari awal sampai akhir. Di setiap jeda, dalam hitungan sepersekian detik, hampir pasti seluruh jemaat meresponnya dengan tepuk tangan. Praktis ruangan gereja Pantekosta yang lumayan besar memanjang itu dipenuhi gerumuh tepuk tangan. Begitu meriah. Begitu menggemuruh. Sesekali terdengar teriakan Haleluya. Puji Tuhan. (Tentu saja, tak mungkin Allahu Akbar)
--Bersambung ke: Saya dan Gereja (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H