Lihat ke Halaman Asli

Antara Hasrat, Rasio, dan Sepeda Motor

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa hari yang lalu di FB penulis menyarankan untuk bersama-sama "merayakan kegilaan dunia ini." Salah satu bentuk kegilaan ini adalah membanjirnya produk kapitalisme tanpa bisa kita sadari sebelumnya. Diantara produk-produk tersebut adalah uang, hand phone, dan juga sepeda motor (walaupun sebenarnya ketiga hal tersebut hanyalah produk pinggiran kapitalis). Dua hal yang dapat penulis katakan sebagai penyebabnya adalah hasrat yang telah terkastarsis (dikebiri) dan peran rasio sebagai tuhan-tuhan kecil kita.

Pertama-tama yang ingin penulis katakan adalah hasrat bukan saja soal seks dan kenikmatan akan organ seks, meskipun sebenarnya pengertian ini tidaklah salah. Akan tetapi jika menggunakan terminologi ini, maka dikhawatirkan kita akan jatuh pada reduksionisme ala Sigmund Frued. Frued mengatakan jika hasrat identik dengan libido atau energi primordial berupa kesenangan akan hasrat seksual, libido ini menurut Frued merupakan pemenuhan akan pleasure principle (prinsip kesenangan). Pembahasan tentang hasrat ala Frued ini akan lebih mudah jika kita menengok tiga topografi Frued, yaitu: Id, Ego, dan Super Ego.

Perkembangan hasrat Frued meliputi: 1) Tahap Erotisme Oral (aktifitas suncking bayi pada puting ibu, 2) Tahap Penis (Bahwa pemilik penis bukan dirinya saja, sedang untuk bayi perempuan berupa kerinduan akan penis-penis envy), 3) Oedipus Complex, yaitu takluknya hasrat bayi pada sosok ayah (pada bayi perempuan disebut elextra complex). Hasrat pada Frued benar-benar terpenjara.

Jika hasrat pada Frued masih kental dengan reduksionisme, maka Jacques Lacan memperuncing masalah hasrat dalam gabungan antara psikoanalisis dengan strukturalismenya. Hasrat pada Lacan mengalami beberapa tahap: 1) Fase Pra Imajiner-bayi mengalami kehilangan pilihan akan laki-laki / perempuan sebagai kelaminnya dan juga kehilangan hasrat karena penatoan yang dilakukan oleh teknokrasi dan birokrasi yang telah terasionalisasikan (Ingat kenapa laki-laki mesti paki peci dan perempuan pakai jilbab dalam Islam?), 2) Fase Imajiner, dimana anak belum bisa membedakan antara bayangan dirinya dan bayangan ibunya (hasratnya sendiri), disini anak berusaha memberikan kekuranganphallus (penis) yang tidak dimiliki oleh ibunya. Akan tetapi yang perlu dicatat disini tidak selama anak akan mengalami fase imajiner. Anak akan mulai belajar tentang identitas dunia sosial yang ada di sekitarnya, sehingga anak mulai menyadari bahwa dia tidak bisa memberikan kekurangan phallus pada ibu karena kehadiran ayah (karena si anak tahu bahwa ayahlah yang dapat memberikan phallus pada ibu, buka dirinya). Disinilah Oedipus complex Frued terjadi pada teori Lacan.

Oedipus complex di atas pada Frued diradikalkan oleh Lacan. Ayah pada Frued oleh Lacan dimetaforakan dengan Atas Nama Ayah yang dapat membentuk sekaligus mengarahkan hasrat anak (Agustinus Hartono; 2007). Atas Nama Ayah ala Lacan dapat dimetaforakan sebagai kekuatan yang dapat berwujud Agama, Negara, Sekolah, Kampus serta produk kapitalis lainnya seperti uang, HP, dan Sepeda Motor. Artinya hasrat akan dikebiri dan dipenjarakan oleh hal-hal tersebut, sehingga anak akan dipisahkan dari hasratnya sendiri, yaitu: Ibu (Ibu disini harus juga dimetaforakan sebagai hasrat murni anak). Pemisahan ini dapat direalisasikan melalui bahasa sehari-hari anak. Ingat! Kita tidak hanya hidup dengan mediasi bahasa, tapi sejak lahir kita sudah ditampung oleh bahasa. Sehingga disini akan berakibat anak mengalami pembentukan identitas non murni yang berasal dari produk-produk kapital.

Identitas disini mungkin sering kita lihat di lingkungan kita: biar dibilang keren maka pakailah sepeda motor kemanapun anda pergi, biar terlihat ber-gaya maka gunakanlahblacbarry terbaru, atau biar kelihatan cantik maka gunakan make up, biar mudah, biar efisien, biar cool de-el-el. Artinya, identitas yang melekat pada diri kita sejak awal bukanlah identitas yang berasal dari hasrat murni kita, akan tetapi hasrat yang telah terkastarsis oleh logika kapitalisme. Untuk itu disini identitas berarti bentuk pengakuan yang diberikan orang lain kepada kita.

Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Seperti apa sebenarnya kekuatan kapitalisme tersebut? Dan apa yang dapat menyebabkan semua itu terjadi?

Pertanyaan pertama, kita harus kembali ke rasio. Saat Discartes mengatakan Cogito Ergo Sum berarti gendang rasionalisasi telah menggeman di seluruh dunia. Gema itu sampai saat ini telah terbentuk dalam pencanggihan hal-hal material, contoh khusus sepeda motor. Tidak Naik Motor Berarti Aku tidak Ada, Ada-nya aku karena adanya motor. Jika menggunakan mitologi Barthesian, maka sebenarnya saat ini sepeda motor telah benar-benar termitoskan.

Singkatnya, sejarah rasionalisasi adalah sejarah kotor penuh tipu daya. Nuklir, PD I dan II, Perang Teluk, polusi udara, laut dan masih banyak lagi hanyalah sekedar contoh kecil efek rasionalisasi. Akan tetapi yang lebih penting rasionalisasi (kesadaran) telah membunuh hasrat murni kita (ketidaksadaran) sebagai manusia. Ketidaksadaran sebagai rumah hasrat murni kita selalu ditekan oleh kesadaran sebagai rumah rasio.

Jika menggunakan terminologi agama, maka teks yang berbunyi: "Man 'arofa nafsuhu 'arofa Robbahu" jika dipandang dengan kaca mata Delauze-Guattari maka akan memiliki arti: "Siapa saja yang memiliki/mengetahui/paham akan hasrat murninya sendiri, maka dia akan mengetahui tuhan/kebenaran/ibunya sendiri (sehingga dia akan menolak Sang ayah sebagai pembunuh hasrat murni)". Karena akan banyak hal telah terjadi, maka teks tersebut di atas hanya dapat berperan sebagai simbol belaka, tanpa ada efek sedikitpun.

Menjawab pertanyaan kedua dan ketiga, hasratlah sebenarnya yang dapat memberikan kekuatan pada kapitalisme. Meskipun begitu, hasrat tersebut bukanlah hasrat murni, tetapi hasrat aksiomatik, yaitu hasrat yang telah difilter oleh logika kapitalisme. Contoh sederhana: Apa yang membuat suatu produk teknologi menarik? Jawabannya dapat beragam, mulai dari kebaruan, kecepatan, banyaknya fitur yang ditawarkan, dan yang pasti ketertarikanlah yang membuat kita membeli dan mengkonsumsi prosuk-produk tersebut. Karena baru, maka produk tersebut kita beli. Maka, sebenarnya ketertarikan (hasrat non murni / hasrat aksiomatik) dan kebaruanlah yang menjadi daya jual produk-produk tersebut (karena tanpa peremajaan dan pembaruan produk, kapitalisme akan kolaps).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline