Lihat ke Halaman Asli

Ramadhan dan Kultum

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa hari yang lalu tidak sengaja mendengar dari Ustad “Tipi” yang mengatakan penggunaan istilah Bulan Ramadhan yang menurut si Ustad kurang tepat. Menurutnya istilah Romadlon lebih tepat digunakan. Masih menurut dia, bagaimana bisa penggunaan istilah yang kurang tepat mampu memberikan pemahaman yang baik mengenai esensi dari bulan yang suci ini. Itulah kita, masih terpaku dengan kulit dari pada isi. Bukankah dalam Islam sendiri tidak ada unsur pemaksaan dalam menjalankan setiap ajaran Islam? Termasuk dalam penggunaan istilah. Untuk itu setiap individu berhak untuk memahami Islam sesuai dengan daya otaknya, dan ini tentu hanya Tuhan yang berhak menilai apakah benar atau salah. Dan menurut saya memang inilah yang seharusnya.

Beberapa hari kemudia isu-isu tentang “pengislaman” lain masih terdengar. Mulai dari pentingnya beramal untuk negeri akhirat, juga isu-isu kecil yang disampaikan melalui kultum sebelum pelaksanaan tarawih.

Saya heran sekali kenapa setiap kali kultum yang digambarkan adalah hal-hal yang berbau surga dan neraka, yang seolah-olah Tuhan itu hanya memiliki dimensi surga dan neraka saja. Tidak lebih. Sekarang pertanyaan yang harus diajukan adalah benarkah surga dan neraka itu eksis adanya? Benarkan dikedua tempat itu kita harus memberikan taruhan terakhir atas apa yang kita lakukan di bulan yang suci ini?

Menurut saya kedua tempat itu tidak benar-benar eksis dan sangat naïf jika menggantungkan harapan kita pada kedua tempat itu. Untuk itu dalam hal ini saya punya dua argumen. Pertama, manusia itu merupakan magnum orpus Tuhan, sehingga manusia memiliki derajat paling tinggi diantara semua mahkluk-Nya --- terlepas dari perbuatan manusia itu sendiri di dunia. Kedua, karena manusia merupakan mahluk yang memiliki derajat tertinggi hal ini tentu akan berimplikasi bahwa kita seharusnya mengharapkan dan menggantunggkan apa saja kepada sesuatu yang memiliki derajat lebih tinggi dari manusia, dimana surga dan neraka tentunya memiliki derajat lebih rendah dari kita.

Dari kedua hal inilah menurut saya surga dan neraka tidak ada tempat untuk berada. Tentu saja hal ini bersifat relatif, karena Islam sendiri harus dipahami sesuai dengan daya nalar yang dimiliki.

Untuk itu para Da’i seharusnya bisa menyentuh kehidupan yang benar-benar dihadapi dalam kehidupan nyata dengan memberikan analogi dan contoh yang memang melekat dalam keseharian mereka ketika memberikan kultum. Sehingga mereka yang di dakwahi tidak melulu berorientasi kepada kedua tempat itu.

Ngawi, 13 Agustus 2011.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline