Lihat ke Halaman Asli

Merah Susu

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kok merah Din susunya.” Pagi ini seperti biasa Dini, istriku memberiku susu. Akan tetapi susu ini bukanya tidak enak untuk aku minum, tapi warnanya kok merah. Merah darah. Cukup aneh bila segelas susu ini ku beri nama susu. Tapi bersikeras bahwa yang ada di gelas itu adalah susu. Ya susu, begitu istriku memastikan.

Bagaimana ini, susu putih atau susuh merah aku menyebutnya. Kalau susu memang enak dan manis dan susu merah...!!!!? Ini bukan susu, bentakku dalam batin. Aku tidak meneriakkan jeritanku di hadapan istriku, enggak elok lah. Ini darah! Ya ini darah. Darah yang merah menyala. Menyala membakar sanubari rakyat ini, negeri ini, presiden ini.

“Ini susu mas, bener lho....manis?” istriku menyeruput sedikit susu itu, yang keadaannya sekarang tidak sepanas tadi.

Mungkin istriku drakula wanita, drakula cantik dan seksi, yang setiap pagi memaksaku meminum susu. Susu merah. Merah susu. Bukannya susu putih. Putih susu.

O...Tuhan. Mungkin mataku sakit, yang tidak bisa lagi memberiku pemahaman akan keeksistensian putih susu. Mungkin mata ini katarak Tuhan, atau mungkin juga istriku yang matanya katarak juga sakit.

Ini darah Tuhanku, bukan susu. Beriku susu Tuhan. Mungkin penguasa negeri tidak lagi mampu memberiku putih susu dan hanya mampu memberiku merah susu. Merah susu ini amis Tuhan, anyir Tuhan. Aku akan muntah....!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Tuhan.

Aku tidak mungkin Tuhan untuk menyalahkan istriku, bulanku, bidadariku, sayap-sayapku menuju fitrah-Mu. Tidak Tuhan, aku tidak mau menyalahkan istriku. Rumah ini yang salah? Mungkin. Negeri ini yang salah? sangat mungkin! Atau kau Tuhan yang salah? sangat tidak mungkin!

Oh..istriku, tidurkan aku lagi. Biarkan mimpiku-mimpiku yang bercinta denganmu, mencumbumu, menciummu, membelai indah rambutmu. Dan setelah itu kamu bangun dan pergi ke dapur dan kembali sambil membawa nampan berisikan putih susu. Dan ku minum segelas untukku dan setengahnya lagi untukmu. Dan Tuhan!!! Kau tidak ku beri susu istriku lagi.

“Kenapa mas terus bengong?” Tanya istriku lagi.

“Tidurkan aku lagi.” Pintaku.

“Tidak baik pagi-pagi tidur. Cepat cuci muka sana.” Perintah istriku. Aku bangkit dan sedikit memberi kecupan di atas pipinya sebelum pergi ke kamar mandi.

Untuk memastikan istriku bukan drakula, kuintip sedikit pintu sebelum pergi ke kamar mandi. Terlihat istriku membelai rambutnya dan menyeruput sedikit susu yang tadi tak sedikitpun ku sentuh. Setelah minum istriku kembali terbaring, menarik selimut dan tidur.

***

Menurut legenda negeri ini, drakula akan mati jika ditusuk dengan pasak tepat di jantung. Dan saat terbaik melakukannya adalah ketika drakula itu tidur. Perlahan-lahan aku masuk dan tepat menghujamkan pasak di dada kiri drakula itu. Mati. Aku senang. Dengan resiko aku tidak bisa minum susu lagi.

Yogyakarta, 02 Juli 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline