Sekarang politik itu sudah memasuki segala ranah, bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga sudah memasuki ranah pendidikan. Dan kita lihat aja pada awal tahun 2014 lalu partai politik yang berbasis islam yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi, jadi banyak orang berpikir kalau pondok pesantren itu bukan mengajarkan ilmu agama lagi tapi pencetus koruptor, mungkin karna itu juga yang menjadi salah satu sulit majunya pondok-pondok pesantren/ sekolah swasta karna para pendiri atau para tokohnya lebih sibuk mengurusi urusan politik, lebih banyak memikirkan waktu untuk memilih siapa calon yang di usung partai mana yang akan di pilih.
Dewasa ini banyak orang-orang berbondong mendirikan sekolah swasta, biasanya sekolah swasta ini adalah pondok pesantren, sekarang kedudukan pondok pesantren di mana-mana sudah tergeser fungsinya, yang dulu biasanya tempat orang menimba ilmu agama namun kenyataannya sekarang pondok pesantren sudah di jadikan ajang sebagai tempat untuk mengumpulkan suara atau wahana pepolitikan oleh para politikus, bukan tempat menimba ilmu lagi,
Hampir sebagian besar pondok pesantren di nusa tenggara barat ini menjadi basis pengumpulan suara baik pemilihan kepala daerah, calon legislatif dan pemilihan presiden. Dan tidak tanggung-tanggung setiap pondok pesantren mengusungkan calon masing-masing baik di pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif.
Kalau dulu lulusan dari pondok pesantren banyak yang menjadi atau imam-imam besar, namun sekarang jebolan dari pondok pesantren berbondong-berbondong menjadi politikus. Makanya sekrang banyak kita lihat para calon anggota legislatif atau calon kepala daerah pergi kampanye ke pondok-pondok pesantren.
Mengapa para politikus berbondong-bondong ketika kampanye mendatangi pondok pesantren?. Hal ini dilakukan karena organisasi yang memiliki massa yang besar adalah pondok pesantren, dan juga menurut saya kampanye ke pondok-pondok pesantren merupakan kamapanye politik yang sangat efektif untuk dilakukan karena mereka tidak perlu capek-capek untuk mengumpulkan massa dan tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk setiap suara, mereka hanya perlu membawa amplop sumbangan untuk setiap pondok dan massa akan di atur oleh setiap pimpinan pondok. Hal itu terjadi karena masyarakat kita masih awam dalam artian kata-kata yang keluar dari pimpinannya itu seperti perintah yang harus diikuti. Maka dari itu banyak calon legislatif merasa ciut jika saingannya adalah anak pimpinan pondok pesantren karena dia sudah pasti memegang suara yang banyak.
Contohnya pondok pesantren X di lombok timur. Sejak ponpes ini di masuki oleh politik, banyak sekali kunjungan yang diterimanya baik dari anggota legislatif, bupati, gubernur dan menteri-menteri. Namun walaupun hal demikian terjadi, pondok pesantren X tersebut tidak memiliki kemajuan apapun dalam bidang pendidikan. Memang dalam segi pembangunan gedung sudah bagus jika di bandingkan dengan pondok pesantren yang lain. Namun dalam segi hal prestasi tidak pernah di tunjukkan oleh pondok pesantren tersebut. Namun yang di tunjukkan adalah stiap ada pemilu pasti mengusungkan calonnya.
Oleh karena itu pada zaman sekarang ini banyak pertanyaan yang muncul di kepala masyarakat yang dimana mempertanyakan kedudukan dari pondok-pondok pesantren, apakah masih sebagai wahana pendidikan atau sudah berubah menjadi wahana politik?
Tapi menurut saya tidak apa-apa jika pondok pesantren itu ikut dalam kancah perpolitikan namun di samping itu pondok pesantren juga harus menunjukan prestasinya dalam bidang pendidikan., agar antara politik dan pendidikannya seimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H