Penerapan ajaran stoikisme dengan ilmu kalam dalam Islam menunjukkan hubungan filosofis antara cara pandang hidup yang rasional dan spiritual. Meski berasal dari tradisi berbeda, keduanya memiliki kesamaan dalam mencari makna hidup, pengendalian diri, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Salah satu alasan mengapa ilmu kalam dan ajaran stoikisme digunakan dalam Islam adalah karena mereka memiliki prinsip yang sama yaitu dalam hal mengendalikan diri, menerima takdir, dan mencari makna hidup yang lebih tinggi. Untuk mencapai ketenangan jiwa, stoikisme mengajarkan orang untuk menerima segala hal yang di luar kendali dan fokus pada apa yang dapat diubah. Konsep ini sejalan dengan konsep tawakal dalam Islam, yang berarti bahwa seorang mukmin berserah diri kepada Allah atas segala keputusan-Nya sambil tetap melakukan pilihan mereka sendiri. Selain itu, stoikisme serupa dengan pendekatan ilmu kalam, yang memperkuat keyakinan terhadap keberadaan dan sifat-sifat Allah dengan menggunakan argumen logis dalam menghadapi tantangan hidup. Kedua ajaran ini mendorong manusia untuk tidak terlalu terikat pada duniawi, melainkan fokus pada tujuan hidup yang lebih mulia, yaitu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan menjalani hidup dengan kesadaran spiritual yang tinggi.
Penerapan ajaran stoikisme dan ilmu kalam dalam hal menikmati masa sekarang dengan hidup penuh syukur menunjukkan pandangan yang serupa meski berasal dari tradisi yang berbeda. Dalam stoikisme, terdapat konsep mencintai takdir, yang mengajarkan manusia untuk menerima segala hal dalam hidup, baik maupun buruk, sebagai bagian dari perjalanan yang sudah ditetapkan. Filosofi ini mendorong seseorang untuk hidup sepenuhnya di masa kini tanpa terlalu memikirkan masa lalu atau khawatir akan masa depan. Stoikisme juga menekankan kebahagiaan sejati yang tidak tergantung pada hal-hal eksternal, melainkan pada sikap internal yang menerima dan mensyukuri apa yang dimiliki.
Ilmu kalam menggambarkan konsep syukur sebagai salah satu jenis ibadah yang paling penting dalam Islam. Syukur tidak hanya berarti mengucapkan terima kasih kepada Allah; itu juga berarti menerima dengan hati terbuka, menggunakan nikmat dengan bijak, dan tidak mengeluh. Dalam Al-Qur'an, disebutkan dalam Surat Ibrahim ayat 7, bahwa orang yang bersyukur akan mendapatkan lebih banyak nikmat. Syukur ini terkait erat dengan hidup saat ini. Seorang Muslim diminta untuk berkonsentrasi pada apa yang telah diberikan Allah saat ini, tanpa berlarut-larut menyesali apa yang telah mereka lakukan atau khawatir tentang rezeki di masa depan. Kedua memberi tahu kita bahwa kebahagiaan sejati berasal dari perasaan cukup dan menerima apa yang ada di depan kita. Oleh karena itu, ilmu kalam dan stoikisme mendorong sikap "mindfulness" juga dikenal sebagai "kesadaran penuh", dalam menjalani kehidupan, melihat setiap saat sebagai anugerah dan memanfaatkan nikmat yang ada untuk tujuan yang mulia. Prinsip ini melahirkan ketenangan batin dan menguatkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H