Lihat ke Halaman Asli

Analisis Teori Fungsionalisme Konflik dalam Memahami Fenomena Feminisme di Indonesia

Diperbarui: 6 Desember 2023   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi: Laki-laki dan wanita mendapatkan hak pendidikan yang sama

Women's March Jakarta (WMJ)  yang diselenggarakan pada Sabtu 20 Mei 2023 di kawasan sekitar Monas, menarik perhatian saya sebagai mahasiswa Sosiologi untuk menganalisis terkait kondisi dimana banyaknya perempuan yang mengambil peran sebagai aktor yang menyuarakan hak-hak dan kepentingan mereka kepada masyarakat agar memiliki posisi yang setara dalam ruang lingkup sosial. Tidak jarang saya melihat dalam realitas sosial di masyarakat bahwa budaya patriarki masih memegang dominasi yang cukup kuat dalam kehidupan sosial kita yang mana hal ini menjadi faktor pendorong bagi perempuan untuk dapat ikut andil dan memiliki peran di dalam sistem sosial masyarakat  dalam skala makro. Ketimpangan gender, diskriminasi, seksisme, dan lain-lain menjadi permasalahan utama mengapa perempuan selalu berada di posisi bawah dalam ruang lingkup sosial. Dengan demikian aksi Women's March Jakarta (WMJ) menjadi tujuan utama para aktor untuk menyuarakan hak-hak dan suara perempuan agar menjadi perhatian khusus pemerintah dan masyarakat luas. Lewis A. Coser dalam bukunya yang berjudul The Functions of Social Conflicts mengemukakan teori fungsionalisme konflik yang memfokuskan fungsi konflik bagi masyarakat. Konflik yang ada dalam sistem sosial masyarakat antara Patriarki dan Feminisme menjadi fokus utama saya untuk menganalisis bagaimana fungsi dari setiap konflik yang terjadi dalam ruang lingkup sosial. 

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada setiap zaman memang posisi perempuan berada di bawah laki-laki, bentuk diskriminasi, pelecehan seksual, tingkat pendidikan, suara dalam pemerintah selalu mendapatkan tekanan pada hak-hak dari setiap perempuan. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan zaman yang menuju beradab serta modern yang mendorong segala usaha untuk meningkatkan hak dan martabat perempuan agar memiliki posisi yang setara dan adil di dalam sistem sosial masyarakat. Pada tahun 1792, seorang aktivis hak perempuan yaitu Mary Wollstonecraft membuat sebuah karya tulis dengan judul "A Vindication of the RIghts of Women" ( Mempertahankan hak-hak perempuan) yang mengandung prinsip-prinsip dasar atas feminisme. Menurutnya, bahwa perempuan bukan manusia inferior. Kesenjangan yang menyulitkan untuk memperoleh pencapaian perempuan tidak disebabkan oleh kurangnya kapabilitas perempuan melainkan kurangnya kesempatan dan akses perempuan akibat stigma yang membatasi perempuan. Kata feminisme pertama kali dicetuskan oleh aktivis Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan ini berkembang dari Eropa ke Amerika dan mulai berkembang di dunia sejak publikasi John Stuart Mill, (The Subjection of Women) pada tahun 1869. Di Indonesia sendiri perjuangan untuk menyuarakan hak asasi manusia sudah dimulai pada akhir abad ke-19 oleh wanita-wanita hebat indonesia. R.A Kartini sebagai tokoh yang berpengaruh dalam kontribusinya bagi bangsa Indonesia dan hak perempuan di Indonesia yang memprakarsai hak perempuan agar setara dengan laki-laki dan memajukan pendidikan perempuan. Lalu Kartini membuka sekolah Kartini pada 1913, agar masyarakat pribumi terutama perempuan dapat mendapatkan hak pendidikan, Di Bandung Dewi Sartika membuka akses pendidikan untuk perempuan dengan menjadi kepala sekolah pada tahun 1904. Di Manado, Maria Walanda Maramis mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama pada tahun 1918. Usaha-usaha yang terus dilakukan untuk hak perempuan di Indonesia terus berkembang pesat, pada tahun 1928, diadakan Kongres Perempuan pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta dan menghasilkan komitmen dan suara untuk hak perempuan yang meliputi segala aspek.

Seiring berjalannya waktu, usaha yang telah dilakukan oleh para aktivis perempuan dan pejuang kemanusiaan membuahkan hasil yang signifikan namun jauh dari kata sempurna. Masih ada bentuk diskriminasi terhadap hak para wanita. Patriarki dalam sistem sosial masih memegang peran yang mendominasi dari segala aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menimbulkan rasa solidaritas yang kuat dari para wanita untuk tetap terus maju dalam memperjuangkan hak mereka. Para perempuan juga mempunyai cita-cita agar berkontribusi lebih untuk kesejahteraan ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik. Sehingga perlu melengkapi supremasi hukum untuk mencapai sasaran dan tujuan dari hak-hak kaum wanita. Sehingga dari permasalahan konflik kaum wanita dalam menuntut hak-haknya memberikan kekuatan solidaritas penuh untuk kesejahteraan wanita, ini masuk dalam fungsionalis konflik yang dicetuskan oleh Lewis A. Coser.

Lewis Alfred Coser adalah seorang sosiolog berkebangsaan Jerman-Amerika yang lahir di kota Berlin pada tahun 1913. Lewis A. Coser mendapatkan gelar Ph.D dari universitas Columbia dan pernah mengajar di Universitas Chicago. Coser menempuh jejak dalam di dunia sosiologi di Universitas Bramdeis dan mendapatkan gelar guru besar ketika di universitas tersebut. Tahun !975 coser terpilih menjadi salah satu presiden ke-66 American Sociological Association (ASA). Karya-Karya yang memiliki kontribusi yang cukup baik dalam Sosiologi adalah  Men of Ideas (1965), Master of Sociological Thoughts (1971), Continues in the Study of Social Conflict (1967) dan yang lainnya. Lewis A. Coser meninggal 8 Juli tahun  2003, Di Cambridge, Massachusetts pada usia 89 tahun.

Referensi 

Setiyawan, Khabib. (2018). LEWIS COSER BIOGRAPHY.

Sri HIdayati Djoeffan.(2001). GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA :

TANTANGAN DAN STRATEGI MENDATANG

https://kumparan.com/kumparanwoman/sukses-digelar-ini-rangkaian-aksi-womens-march-jakarta-2023-20RquHkq5Vy/3




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline