Lihat ke Halaman Asli

Cikal Bakal Emansipasi Wanita Hindia Belanda dalam Arsip Surat R.A. Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang

Diperbarui: 19 Desember 2021   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dapat dikatakan bahwa wanita Jawa pada zaman Kartini sangat terikat dengan adat istiadat yang berlaku saat itu. Waktu itu perempuan sangat dilarang untung mendapatkan hak pendidikan dan juga tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan di luar tempat tinggalnya, khususnya bekerja. 

Untuk memiliki jabatan di dalam masyarakat sangatlah tidak mungkin bagi wanita pada masa itu. Yang kaum wanita ketahui saat itu ialah kewajiban wanita untuk terus menuruti keinginan laki-laki dan dilarang untuk memiliki keinginan sendiri. 

Praktik pernikahan paksa wanita dengan pria yang sudah dipilihkan orang tuanya juga sangat sering terjadi. Sehingga timbul miskonsepsi di tengah-tengah kaum wanita bahwa tujuan dan cita-cita wanita hanya sebatas untuk dinikahkan.

Mengingat Kartini merupakan seorang darah biru yang menyebabkannya hingga kini dikenal sebagai The Princess of Java hampir di seluruh dunia, Kartini memiliki privilese tersendiri. 

Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang pada masanya menjabat sebagai Bupati Demak, beberapa saat sebelum meninggal ia berpesan, "Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan.". 

Dapat diperkirakan bahwa ucapan sang kakek ini yang memicu semangat Kartini untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih maju dari kebanyakan wanita sebangsanya pada saat itu. 

Sifat semangat Kartini ini juga rupanya merupakan peninggalan dari nenek Kartini. Nenek R.A. Kartini merupakan seorang yang acuh akan celaan orang terhadap dirinya. 

Hal ini menjadi warisan Tjondronegoro dan istri ke semua turunannya. Tidak sedikit saudara dan sepupu Kartini yang merupakan lulusan HBS (Hoogere Burgerschool) yang pada saat itu merupakan sekolah tertinggi di Hindia Belanda. 

Dikutip dari suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 29 November 1901, Kartini menyampaikan bahwa dirinya dan saudara laki-laki maupun perempuannya merupakan hasil didikan bapaknya yang akhirnya menjadi orang yang teredukasi.

Dalam aspek pendidikan, ruang gerak wanita Jawa sangat dibatasi. Hal-hal yang menjadi pembatas juga saling berkaitan satu dengan yang lainnya. 

Misalnya, pada tahun 1908 diciptakan Balai Pustaka oleh pemerintah kolonial yang menjadi kontrol Bumiputra untuk mengakses bacaan. Hal ini pun menyebabkan semakin sulit akses untuk mempelajari bahasa asing yang dalam konteks ini adalah Bahasa Belanda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline