Lihat ke Halaman Asli

Tampar

Diperbarui: 5 Juli 2016   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana.


 ― (Kommer) Pramoedya Ananta Toer, Anak semua bangsa

Setelah lama tidak menulis, tidak mengganggu hari-hari kalian, saya kembali menulis gratisan karena tulisan saya yang satu ini tidak diterima di koran manapun dan tidak cocok di pajang di website saya, lagipula ini prototype yang di coret coret, selamat berfikir

Berawal dari belajar dan mengajar suatu komunitas Atheist-liberal (yang nantinya akan manusia tulis dengan “manusia” .red), dan berlibur di lingkungan asal saya dengan keluarga saya yang alhamdulillah religious (manusia religious ini nanti akan saya tulis sebagai “manusia” .red) beberapa pertanyaan, gagasan, melatar belakangi saya menulis hal ini

. Salah satu pertanyaan yang saya dapat dari manusia adalah, “Jika Do’a memang powerful, bisakah itu mengakhiri world hunger dan issue issue Global lainnya?” "mengapa agama membuat manusia menciptakan peti peti yang di dalamnya ada peti yang di isi peti?" "mengapa agama membuat kita melindungi tuhan?" pertanyaan simple memang, dan seharusnya bisa di jawab jelas oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang seharusnya bunuh diri kelas ini, “Jadi begini, manusia itu berdo’a sebenarnya sebagai suatu kebutuhan jiwa, karena do’a kita tidak akan merubah nasib kita jika kita tidak melakukan apa-apa” "kepercayaan memang membuat kita berwarna, kau sendiri suka tim sepakbola yang berbeda toh?", "tuhan tidak perlu di bela apalagi di lindungi, tuhan yang menciptakan kita toh?"

(slash dah itu sekilas)

.. Di rumah, manusia bertanya kepada saya mahasiswa UIN sunan kalijaga dengan NIM 15730100 yang belum bunuh diri kelas ini, dengan pertanyaan lain lagi, “mas, udah denger belum, ada injil yang covernya niru-niru Al-Qur’an, bahasanya pun pakai Bahasa arab”, “Bagus dong? Itu namanya agresi kultural, kita itu jangan marah dulu karena mereka pakai budaya arab, toh arab juga bukan budaya kita / Indonesia, itu berarti mereka sadar kalau kaligrafi itu indah, ada seninya” (seharusnya Arab dan Indonesia saya sensor juga menjadi Budaya dan Negara manusia)

(kemudian saya teringat suatu kejadian)

// Hari itu, terjadi aksi unjuk rasa, massa aksi yang tidak di temui dari pagi melakukan pengerusakan sebagai wujud komunikasi non verbal (saya anak komunikasi lho), di sore hari, stakeholder baru datang untuk menemui dan berunding, di tengah perundingan stakeholder mengemukakan suatu dalil / ayat, itu membuat salah satu massa aksi geram dan berujar, “hebat ya, berdakwah menggunakan dalil, berbohong dan mengelakpun menggunakan dalil, saya malu jadinya beragama ini, mau pindah itu saja, ah tidak agama manapun sama, atheist saja”

(kembali dalam renungan saya)

/ Jika komunikasi berjalan efektif, distorsi pesan tentunya tidak akan sampai seperti ini, kebenaran adalah suatu subjektifitas yang tidak mungkin di paksakan, saat teman baik saya membeli lipstick dan memaksa saya bilang bahwa itu bagus untuknya, apakah itu berarti kebenarannya juga milik saya? Saya akui? sering saya jumpai perdebatan panas di kompasiana, yang sebenarnya simple, realitas kebenaran yang satu dipaksakan kepada yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline