” Dunia ini panggung sandiwara,
ceritanya mudah berubah..
ada peran wajah,,
ada peran berpura – pura,,
mengapa kita bersandiwara…”
Lirik diatas adalah bait lagu vokalis ternama Achad Albar, dan jika dipahami maka bait tersebut selalu mengiringi langkah kehidupan kita, tergantung dari sisi mana kita akan memahami, namun penulis lewat tulisan sederhana ini melihat dari sisi lain yakni poses perpolitikan bangsa ini, proses demokrasi melalui pemilu di penjuru negeri ini.
Melihat fenomena yang ada, dulu hingga sekarang sebenarnya Indonesia yang kita tapaki ini sudah MERDEKA dalam artian sesungguhnya, sudah makmur dalam artian sebenarnya, sudah sejahtera dalam artian sebenarnya, bukan dalam artian retorika para politikus seperti saat ini. Bagaimana tidak, setiap akan dilangsungkan PEMILUKADA/pemilu capres-cawapres maupun PEMILU LEGESLATIF maka mudah kita jumpai slogan – slogan perubahan yang menyatakan bahwa kesejahteraan serta kemakmuran rakyat adalah harga mati, hampir kesemuanya mendengungkan semangat baru bahwa kita akan menuju perubahan besar, kearah yang lebih baik.
Lihatlah bacaan baliho, spanduk, stiker, baik mereka yang sedangmenikmatikekuasaan, atau bahkan yang akan mengejar kekuasaan, rata – rata dari mereka selalu mengatakan bahwa dirinya itu : AMANAH, JUJUR, BERTANGGUNG JAWAB, PEDULI, hingga dengan tegas menyatakan “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI”, serta pengakuan lainnya. Pengakuan diri tersebut bias kita lihatdiberbagai tempat sepanjang jalan, maupun media lainnya. Begitulah pengakuan diri beriringan dengan sejuta janji, dan tentu kita meyakini bahwa slogan – slogan tersebut bersumber dari calon tersebut.
Potret pengakuan diri tersebut sah – sah saja, namun yang menjadi permasalahan, pertama adalah manakala pengakuan diri tidak sesuai dengan track record atau keseharian,kedua penulisan maupun pernyataan tersebut bukan lahir dari niat yang sesungguhnya untuk memajukan negeri ini, tetapi hanya upaya menarik simpati untuk kepentingan pribadi, ketiga adalah rangkaian dari hal pertama dan kedua tersebut memunculkan spekulasi bahwa ketika akan pemilihan rakyat dicari, ketika menjabat rakyat diingkari, apa yang didengungkan hilang begitu saja, yang mabuk kekuasaan terlena, rakyat merana.
Dilema kemunculan calon – calon karbitan memang lebih banyak memainkan retorika semu, visi misi dikaburkan, target pencapaian setelah menjabat lebih mengarah kepada kepentingan pribadi dari pada rakyat secara utuh. Maka tak mengherankan, bulan – bulan saat akan dilangsungkan pemilihan mereka menggunakan berbagai cara, tebar pesona,tebar uang, tebar janji manis, kemunculan saat saat ada maunya saja.
“ amat besar kebencian disisi-Nya apabila mengatakan apa yang tidak dikerjakan”. Itulah “teguran” Tuhan pada manusia yang tertera dalam kitab suci Al Qur’an. Mengacu pada ayat tersebut maka sebuah keharusan bagi para politikus yang memegang amanah rakyat dalam memimpin agar benar – benar menyadari bahwa keberhasilan yang mereka capai adalah merupakan kepercayaan rakyat, setelah berkuasa maka totalitas harus ditunjukkan untuk kesejahteraan rakyat, sesuai slogan yang didengungkan sebelum menjabat.
Jika semua eksekutif / legeslatif melakukan hijrah total pada kebenaran dan kebaikan untuk rakyat rasanya kita tidak kehilangan mereka tersebut manakala rakyat menjerit kelaparan, pengungsi yang terlantarkan, pola kebijakan ekonomi yang kapitalis, pendidikan yang kehilangan arah, birokrasi “ tukang sunat “, rekrutmen penuh KKN, hukum yang lebih mengedepankan pembenaran dari pada kebenaran (tebang pilih), dan semacamnya.
Kesadaran masyarakat harus selalu dimunculkan dan dikuatkan, bahwa masa depan negeri ini, ataupun daerah yang kita tapaki tersebut sangat bergantung pada pilihan kita, dalam memilih pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif. Masyarakat harus cerdas dalam memilih, bukan hanya berpatokan pada slogan, pencitraan, apalagi uang maupun bingkisan. Karena penyesalan selalu muncul dibelakang, oleh karena itu kesungguhan kita dalam menentukan pilihan adalah mutlak, jangan asal pilih
Tidak akan berubah nasib kita, kalau bukan kita yang mengubahnya.
Rakyat harus bergerak dari kemurnian hati untuk melangkah kearah yang benar, sepatutnya kita titipkan amanah kepada orang orang yang punya semangat kerakyatan, bukan pribadi, bukan pada mereka yang hanya hebatnya di baliho,spanduk,stiker, tapi kenyataannya keseharian mereka jauh dari rakyat. Setiap pilihan selalu bermuatan resiko. Dan kita tentu tidak ingin resiko terburuk terjadi untuk negeri ini.
Jika hari ini sama dengan kemaren maka kita termasuk orang yang rugi, namun jika ada perubahan kebaikan maka kita orang yang beruntung,
beruntung untung bangsa – Negara ini, untuk rakyat.
Harapan itu masih ada !!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H