Lihat ke Halaman Asli

Haya Hasanah

Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya

Kenapa Sakit Hati Lebih Tertanam Dibandingkan Kata-Kata yang Menyakiti? Penjelasan Otak, Emosi, dan Solusi Kesehatan Mental

Diperbarui: 5 Desember 2024   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto orang stress (Sumber gambar: https://hellosehat.com/) 

Pernahkah kamu ketika dahulu mengalami kejadian yang menyakitkan hal yang kamu ingat justru perasaan kamu pada saat kejadian itu berlangsung? 

Kenapa ya seakan-akan kita seperti dejavu dengan kejadian yang lalu itu, bukan pada kata-kata yang menyakiti tapi how they make you feel dan ketika pada saat sekarang kamu mengingat kejadian itu lagi yang membekas di batin kamu justru rasa sakit tersebut? Sekeras apapun usaha kamu untuk melupakan kejadian tersebut tapi tetap saja "perasaan yang menyakitkan" itu tetap membekas. 

Melalui penjelasan di bawah ini kamu akan mengetahui penjelesan dari sisi sains dan beberapa langkah yang bisa kamu ambil dalam mengurangi perasaan menyakitkan tersebut. Silakan disimak dengan baik ya.

Kata-kata yang menyakitkan atau menyinggung sering kali membekas di ingatan karena dampak emosional yang mereka ciptakan. Otak manusia tidak sekadar menyimpan kata-kata tersebut secara harfiah, tetapi lebih kepada emosi yang muncul sebagai respons terhadapnya. Ketika seseorang mendengar sesuatu yang melukai perasaan, otak mencatat momen tersebut dengan sangat kuat. 

Hal ini terjadi karena adanya keterlibatan amigdala, apasih amigdala itu? Amigdala adalah bagian otak yang bertanggung jawab dalam memproses dan mengatur emosi. 

Amigdala bekerja sama dengan hipokampus, yang berfungsi dalam pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang atau long term memory. Saat merasakan emosi yang kuat seperti rasa sakit, marah, atau kecewa yang dipicu, amigdala mengirimkan sinyal ke hipokampus untuk memperkuat penyimpanan memori tersebut, membuatnya lebih mudah diingat dan bisa menetap dalam jangka panjang.

Emosi yang kuat juga memicu pelepasan neurotransmiter seperti adrenalin dan norepinefrin. Kedua zat kimia ini memainkan peran penting dalam memperkuat koneksi antara sel-sel saraf di otak. Ketika neurotransmiter dilepaskan dalam jumlah besar, sinyal antar neuron menjadi lebih kuat, membuat memori yang terkait dengan peristiwa emosional lebih tertanam di dalam jaringan otak. 

Selain neurotransmiter, protein sinaptik juga berperan sebagai "lem" yang menjaga koneksi antara neuron agar tetap kokoh. Semakin kuat koneksi ini, semakin mudah otak mengakses kembali memori tersebut di masa depan. Itulah sebabnya pengalaman yang melibatkan emosi negatif sering kali terasa lebih nyata dan terus membayangi, bahkan bertahun-tahun kemudian.

Namun, proses penyimpanan dan pengaktifan kembali memori emosional ini membutuhkan energi yang signifikan. Perlu kita ketahui bahwa otak adalah organ yang sangat aktif, bahkan saat tubuh sedang beristirahat seperti tidur. Saat seseorang mengingat kembali pengalaman yang menyakitkan, otak harus bekerja keras untuk mengaktifkan kembali jaringan saraf yang terlibat dalam memori tersebut.

 Proses ini tidak hanya memakan energi yang banyak untuk mengakses informasi, tetapi juga untuk memproses ulang emosi yang muncul kembali. Inilah yang menyebabkan kelelahan mental. Mengingat pengalaman traumatis atau menyakitkan bisa membuat seseorang merasa sangat lelah secara emosional dan fisik, meskipun aktivitasnya hanya berupa proses berpikir dan mengingat kejadian menyakitkan tersebut yang terjadi di masa lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline