Lihat ke Halaman Asli

ManG JIMs

orang desa

Dua Kemampuan Orang Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kemampuan orang Indonesia hanya dua yaitu memuji setinggi langit sampai orang yang dipujinya jatuh terkapar. Kemampuan lainnya ialah marah. Kemarahan itu dilampiaskan dengan berbagai hal mulai dari mengeritik paling menyakitkan atau menangis sampai sampai si objeknya jatuh terkapar juga. Lalu puas lah mereka.

Dua kemampuan itu merupakan senjata pembunuh paling dahsyat. Orang ketika memuji dan mendukung, tidak disadari bahwa dia sedang dibunuh. Bagaimana kuatnya Soekarno memimpin negeri ini dengan sebuah misi, visi revolusi untuk membangun negara. Toh ia harus terkapar atas pujian-pujian dan dukungan bawahannya.

Begitu pun jaman Soeharto, siapa yang tidak mengeluarkan pujian kepadanya. Mungkin orang-orang yang dilahirkan tahun 70 ke bawah pernah melontarkan pujiannya. Baik di sengaja atau tidak, maka tidak aneh ketika ia dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan. Kata puja-puji, terlihat secara kasat mata dari menteri sampai pejabat kelas teri di daerah.

Anehnya, tidak ada kata lain selain memuji pada jaman itu. Media cetak, elektronik (radio) maupun televisi tidak pernah mengeluarkan kata-kata makian. Kritikan atau pun kalimat-kalimat menyakitkan. Jika pun ada, kita pun turut menyalahkan orang yang berkata menyakitkan. Padahal meski perkataan itu benar, namun selalu kembali memuji-muji.

Selama tiga puluh dua tahun puja-puji mewabah di masyarakat. Harus berkata santun, penuh etika dan coba mengerti perasaan orang lain. Kata-kata eufimisme pun selalu ke luar, jika tidak berkenan dengan pihak lain. Di sini ada permainan bahasa dan logika yang cerdas yang dimulai oleh Harmoko. Namun pujian itu pun menjadi tragis, Soeharto pun lengser.

Kemampuan memuji setinggi langit, tiba-tiba berubah menjadi dunia penuh caci maki. Tidak saja di tingkat presiden, menteri, anggota DPR, tokoh masyarakat dan imbasnya ke lapisan terendah yakni rakyat. Caci maki yang dibungkus bahasa "kritikan" menjadi wabah. Apalagi kritikan itu terus berlanjut sampai terkapar.

Bentuk kritikan tidak saja ditemukan dalam media cetak dan elektronik. Betapa mudahnya dari sebuah budaya beralih ke budaya lainnya. Begitu gampang dari tukang puja-puji menjadi tukang pengkritik alias tukang marah. Kemarahan yang terus berlanjut sampai hari ini dan telah menumbangkan seorang Bapak Demokrasi Indonesia "Gusdur" atau Abdurahman Wahid.

Kepandaian marah pun berlanjut, di blog, di facebook dan mungkin entah di tempat apa lagi setelah orang Amerika menemukan media yang paling tepat, efisien lagi. Rakyat Indonesia hanya mampu berbicara dengan aroma kemarahan dan puja-puji tidak lebih dan tidak kurang. Sementara kemampuan dalam bidan teknologi nol besar.

Kita hanya bangsa pemakai dari produk-produk bangsa lain namun seolah-olah telah mampu menguasai segalanya. Namun tidak pernah disadari, bahwa kemajuan itu bukan dari pandainya berbicara pujian atau marah. Tapi mampu melakukan pencerahan untuk rakyat, konon katanya orang Indonesia banyak yang pandai.

Banyak orang Indonesia yang kuliah di negri orang mengambil rupa-rupa ilmu pengetahuan. Sekali lagi apa hasilnya? Mereka tetap saja menjadi budak-budak perusahaan asing. Tidak pernah mandiri, tidak pernah menjadi bangsa yang ajeg dengan kepercayaan diri di pelbagai bidang. (mungkin ini juga sebuah makian yang diwariskan).***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline