Di zaman yang dewasa ini, manusia telah mempersempit makna cinta menjadi kecenderungan antara kelelakian dan keperempuanan saja. Orang bercinta itu memakai hati, dan hati tidak berjenis kelamin, orang bercinta itu memakai akal dan akal pula tidak lelaki ataupun perempuan. Padahal cinta mempunyai makna keleluasaan yang besar, tidak hanya dalam hubungan-hubungan konteks kelelakiandan perempuan, misal antara hubungan manusia,alam, Tuhan, unsur budaya, sejarah dan lain-lain.
kesalahan banyak remaja dalam berpacaran adalah karena 90% masing-masing mereka meletakkan diri sebagai "lelaki" dan "perempuan". Sementara 10% sebagai manusia. Kalau manusia itu minatnya terhadap akal budi,kepribadian dan seterusnya, maka si pacaran kita adalah pengenalan kualitatif mengenai seluk beluk kepribadian yang kelak diperlukan untuk merewat cinta kasih berumah tangga. Kalau kita pacaran dengan menekankan diri sebagai lelaki atau perempuan maka ""riset kepribadian" tidaklah nomor satu, karena didominasi oleh fokus nafsu "seks".
seks merupaka ekspresi paling dangkal dari kebudayaan manusia, kalau orang mengalami frustasi, seks adalah yang pertama menawarkan diri, segala macam teknologi hiburan dari yang primitif,tradisional, sampai yang supramodern bertemakan seks, baik yang secara terang-terangan ataupun yang terbungkus oleh pola-pola tertentu.
"Benci adalah cinta yang tersakiti" kata mas Kahlil Gibran dalam kutipan romannya, benci adalah cinta yang merasa sakit, tapi yang merasakan sakit itu ya tetap cinta namanya. Cinta itu utuh, kental, abadi, seperti ruh, seperi rasa bahagia itu sendiri, Makhluk batiniyah yang amat dekat letaknya dengan Tuhan. Bukannya Tuhan juga tidak lelaki ataupun perempuan?
Cinta yang biasa-biasa saja tetapi bersahaja.
mbah Emha Ainun nadjib
salam maiyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H