Lihat ke Halaman Asli

Hauro aljannah

Umm's of Three

Negara Terancam Resesi, Saatnya Koreksi Tatanan Dunia dan Menggantinya dengan Khilafah

Diperbarui: 25 Juli 2020   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sesungguhnya Covid-19 telah menyingkap kerapuhan Kapitalisme global. Dalam sebuah artikel Foreign Policy yang diterbitkan tanggal 16 Maret 2020, berjudul Will the Corona virus End Globalization as We Know It? dikatakan bahwa Covid 19 sedang menguji tatanan dunia dan globalisasi dengan ujian yang berat. Saat rantai pasokan global yang sangat penting terhenti secara kritis dan pergerakan manusia distop mendadak, perekonomian yang dibangun mulai menunjukkan kelumpuhannya.

Risiko kehancuran pasar finansial pada tahun 2020 sangat besar. Henry Kissinger, mantan Menlu AS bahkan menyebut bahwa Virus Corona akan mengubah tatanan dunia selamanya. Kissinger menjelaskan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh pandemi virus Corona baru mungkin bersifat sementara, akan tetapi kekacauan politik dan ekonomi yang disebabkannya dapat berlanjut selama beberapa generasi.

Faktanya, para pakar seolah satu suara, bahwa ekonomi global sudah menunjukkan kelemahannya. Bahkan tepat di jantung negara kapitalis, Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya, kelumpuhan ini tak terelakkan. Satu dari enam pekerja di Amerika telah kehilangan pekerjaan mereka semenjak pertengahan Maret, sejauh ini merupakan rentetan PHK terburuk yang pernah tercatat di AS. Para ekonom telah menyebutkan bahwa angka pengangguran pada bulan April dapat mencapai 20%. Besarnya angka PHK telah menjerumuskan perekonomian AS ke dalam krisis ekonomi terburuk sejak Depresi Hebat (Great Depression) pada tahun 1930-an. Beberapa ekonom mengatakan bahwa pengeluaran negara dapat menyusut dua kali lipat dari jumlah yang dikeluarkan selama masa Resesi Hebat (Great Recession) yang berakhir pada tahun 2009.

Begitu hal nya dengan perekonomian Indonesia yang diprediksi kuat pada kuartal II-2020 ini mengalami kontraksi. Belum lagi isu resesi yang berada di depan mata, melihat negara tetangga Singapura sudah menelan pil pahit akibat pandemi.

Bahkan, dalam peluncuran laporan Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia edisi Juli 2020, tak ada jaminan bagi ekonomi Indonesia terbebas dari resesi. Ekonomi Indonesia bisa mengalami resesi jika infeksi COVID-19 terus bertambah banyak.

/ Resesi Ekonomi, Apa Artinya? /
Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau minus dalam 2 kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika PDB minus 2 kuartal beruntun secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) disebut sebagai resesi teknikal. Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni PDB riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.

Penyebab resesi di antaranya adalah merosotnya kepercayaan investor untuk berivestasi di tengah pandemi hingga turunnya jumlah konsumen dalam berbelanja yang berdampak pada pengurangan porsi belanja mereka. Penjualan retail akhirnya ikut melambat. Pada akhirnya, pelaku bisnis mengurangi penyerapan tenaga kerja.

Penyebab lainnya adalah naiknya suku bunga demi penyelamatan perbankan yang menjadi jantung Kapitalis. Pembiayaan hutang semakin besar dengan bunga nya yang tinggi, akibatnya pemangkasan dana hajat hidup rakyat dan subsidi besar-besaran terjadi.

Selain itu, turunnya harga surat-surat berharga terutama yang berasal dari kredit perumahan kelas bawah yang membuat para investor merugi terutama perbankan, perusahaan asuransi, dan pihak-pihak yang menginvestasikan modal mereka pada aset tersebut. Dampaknya, perusahaan-perusahaan berguguran, pengangguran naik dan pendapatan masyarakat turun tajam. Kerapuhan sektor finansial, yang rentan terkena krisis dan berujung resesi tersebut, juga diperburuk oleh perilaku curang para pengelola investasi di sektor tersebut.

Dampak resesi yang paling nyata adalah pengangguran meningkat tajam, produktivitas bisnis turun, yang ditandai dengan bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang lemah, serta menurunnya pendapatan masyarakat yang berdampak pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Saat wabah Covid-19 belum ganas saja angka kemiskinan sudah naik. BPS mencatat jumlah penduduk miskin di RI pada Maret lalu mencapai 26,42 juta orang.

Maka jika pandemi terus menyebar luas makin tak terkendali, sementara kebijakan yang dikeluarkan gagal menyelesaikan persoalan pandemi, rantai pasok yang berakibat pada naiknya harga pangan akan mengalami disrupsi,  hasilnya rakyat akan semakin tercekik dan jumlah penduduk miskin akan meledak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline