Syubanu al-yaum rijalu al-ghaddi" (Pemuda hari ini adalah tokoh pada masa yang akan datang). Begitulah ungkapan bahasa arab menggambarkan kedudukan para pemuda. Bahwa mulia dan berkualitasnya pemuda hari ini, cerah lah masa depan sebuah bangsa. Sedangkan bila rusak kondisi para pemuda hari ini, suramlah nasib bangsa tersebut di kemudian hari.
Namun realitanya, potret pemuda hari ini masih diwarnai dengan beragam kenakalan dan kerusakan. Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini, sebanyak tiga puluh tujuh anak di bawah umur yang hendak menggelar pesta seks terjaring razia di hotel di Kecamatan Pasar, Kota Jambi, pada kamis (9/7/2020) lalu.
Para remaja tersebut kepergok setelaha danya razia tim gabungan TNI, Polri, dan Pemerintah Kecamatan Pasar Kota Jambi. Bahkan diantara mereka ada yang kedapatan membawa obat kuat hingga alat kontrasepsi.
Temuan ini telah menambah deretan angka seks bebas remaja yang terjadi di negeri ini. Bahkan semakin hari semakin parah dan tidak terkendali. Generasi telah berada di ambang bahaya.
Atas fenomena yang mengkhawatirkan ini, maka siapakah yang harus bertanggung jawab? Cukupkah kesalahan hanya kita tunjukkan kepada para remaja?
Saat pendidikan seks usia dini terbukti tidak mampu menutup trend gaul bebas pada remaja, keluarga juga belum berhasil membentengi remaja dengan aturan Islam sehingga bijak menentukan batasan halal haram. Dan kontrol masyarakat belum sepenuhnya hadir memberi penjagaan saat terjadi aktivitas pacaran ataupun campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilat).
Di sisi yang lain absennya kehadiran negara dalam melindungi remaja dari ganasnya dunia maya dengan konten-konten yang merusak pemikiran dan perasaan remaja berikut puluhan aplikasi-aplikasi di gadget mereka yang bermuatan gaya hidup hedonis dan permissive. Bahkan tersedianya penginapan muda mudi yang tak pandang status pernikahan mereka adalah sebuah keabaian yang fatal.
Persoalan moral hanya dipandang sebagai urusan personal, tanggungjawab keluarga, bukan menjadi tanggung jawab negara. Alih-alih melarang pergaulan bebas di kalangan remaja, negara justru mengampanyekan bahaya pernikahan dini. Padahal prosentase kasus nikah dini amat rendah dibandingkan dengan perilaku pacaran dan seks bebas di kalangan pelajar. Negara mempersoalkan nikah dini yang sah secara hukum agama, sementara pacaran yang jelas mendekati zina justru dibiarkan.
Sesungguhnya ini adalah problem sistemis yang saling berkelindan buah pemisahan agama dari kehidupan (Sekulerisme) sebagai asas dalam tatanan kehidupan hari ini.
Akibatnya generasi pun jauh dari nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi pedoman bagi pola fikir dan pola sikap. Parahnya lagi, ketika para pemuda mulai menyadarai untuk kembali kepada kehidupan Islam, mereka justru dicurigai dan distigmatisasi sebagai intoleran, bahkan radikal.
Seharusnya negaralah yang menjadi benteng utama dalam melindungi generasi dari berbagai kerusakan pemikiran dan tingkah laku mereka. Bukankah Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).