Santri merupakan sebutan untuk siswa-siswi yang sedang menempuh pendidikan di Pesantren. Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian as-rama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo, atau barangkali berasal dari kata Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama.
Seiring perkembangan ilmu pengeta-huan dan teknologi, muncul beberapa pesantren yang mengembangkan dirinya untuk menghadapi perkembangan zaman. Dalam pertarungan tradisi era modernisme, ba-nyak pesantren yang masih tetap memper-tahankan tradisi utamanya sebagai pesan-tren tradisional, di sisi lain muncul beberapa pesantren yang mengembangkan dirinya menjadi pesantren modern agar dapat bersa-ing dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang berkem-bang di lembaga pendidikan model sekolah.
Pesantren sebagai salah satu bentuk pen-didikan Islam tradisional karena pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menjun-jung tinggi dan melestarikan tradisi, budaya, tatanan kehidupan islami dalam proses pen-didikan kepada santrinya. Sehingga, pesan-tren memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan sekolah maupun madrasah.
Beberapa pola kehidupan yang terjalin di pesantren tradional meliputi: adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, tradisi ketundukan dan kepatuhan, seorang santri terhadap kyai, pola hidup sederhana (zuhud), kemandirian atau independensi, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong, suasana persaudaraan, berani menderita untuk mencapai tujuan, kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi.
Pola pendidikan di pesantren ini sangat khas dan menjadi pembeda dengan lembaga pendidikan yang lain. Pola ini lebih menggambarkan bagaimana tradisi di lingkungan pesantren yang menekankan pada etika santri dalam belajar di pesantren. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, ada sebagian tradisi pesantren di atas yang sudah ditinggalkan oleh santri, misalnya: pola hidup sederhana.
Hal ini dapat dibuktikan banyaknya kasus hidup mewah santri, khususnya para santri yang tinggal di pesantren modern. Ada sebagian pesantren modern yang memberikan fasilitas tempat tidur yang berbeda dengan santri yang lain, misalnya: ada yang 1 kamar dipakai 4 orang, ada juga 1 kamar digunakan 20 orang dengan fasilitas yang berbeda, dan hal ini tidak terdapat di pesantren tradisional.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menon-jol. Mulai dari hanya memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berba-hasa Arab, mempunyai teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan me-tode sorogan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta mengguna-kan sistem halaqah. Sampai sekarang, model pembelajaran ini masih tetap bertahan, khususnya di pesantren-pesantren tradisional, hal tersebut sebagai ciri khas bentuk pesantren yang masih mempertahankan tradisi-tradisi.
Berbagai metode pembelajaran di pesantren seperti sorogan, bandongan atau wetonan perlu direkonstruksi dengan cara mengembangkan budaya kritis bagi santri dalam proses belajar mengajar.
Budaya kri-tis ini penting untuk membudayakan santri bersikap kritis tapi santun dalam menyam-paikan pendapatnya, sehingga santri bukan hanya menerima apa adanya apa yang di-sampaikan oleh kyai-nya.
Budaya kritis juga akan melatih santri untuk lebih progresif da-lam mengembangkan ilmu pengetahuan, se-hingga tidak terjadi kejumudan dalam ber-pikir, dan santri juga dapat menjadi problem solver bagi persolan masyarakat modern.
Ditinjau berdasarkan tradisi, pesantren dibagi menjadi tiga yaitu Salafi, Khalafi, dan pesantren Modern. Pesantren-pesantren ini memiliki corak tradisi yang berbeda-beda yang dapat dijelaskan sebagai berikut, yang pertama yaitu pesantren Salafi. Secara etimologis kata "salaf" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesuatu atau orang yang terdahulu, ulama-ulama terdahulu yang saleh.