Sejarah adalah salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan pengembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau termsauk keseluruhan kejadian-kejadian dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh penelitian dan penyelidikan yang akhirnya dijadukan pembendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan (Depdikbud, 1985). Berdasarkan pengertian tersebut, diketahui bahwa sejarah memiliki peran yang penting bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa atau negara.
Mempelajari sejarah berarti memberikan harapan kepada setiap indivisu agar memahami perkembangan dan pola pemikiran sehingga dari sejarah yang dipelajari tersebut, akan tumbuh ilmu pengetahuan dan pelajaran hidup yang dapat diambil oleh individu tersebut.
Dengan begitu, akan dikembangkan hal-hal baik dalam kehidupan, baik itu dalam bidang sosial, politik, kebuhdayaan dan sebagainya. Karenanya, setiap individu mau tidak mau harus memahami dan mempelajari sejarah dari negaranya yang merupakan kunci penting dari berkembangnya negara tersebut.
Sejak berdirinya Negara Indonesia dengan dibacakannya teks proklamasi oleh Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia dinilai memiliki pola hidup sebagai bangsa merdeka uang didasarkan atas falsafah Pancasila yang mengakui dan menghormati setiap bangsa serta falsafah-falsafah hidupnya masing-masing.
Namun, dalam perjalanan, tak dapat dipungkiri Indonesia juga mengalami banyak gejolak-gejolak dalam pemerintahannya. Mulai dari perebutan kekuasaan antara Jepang dan Belanda, hingga permasalahan internal yang memecah belah Indonesia. Republic Indonesia mengalami berbagai tantangan dan rintangan untuk menetapkan Pancasila sebagai landasan negara yang menyebabkan Pancasila berulang kali mengalami perubahan karena tragedy nasional yang terjadi akibat kelengahan dan kurang kewaspadaan dari pemimpin rakyat pada saat itu hingga terjadi suatu tragedy yang tertulis di sejarah Indonesia yaitu tragedy G30S PKI yang terjadi pada 30 September 1965 yang menjadi ujian terberat bagi keampuhan dan kesaktian Pancasila.
Peristiwa yang juga dikenal sebagai peristiwa Sumur Lubang Buaya dinilai sebagai percobaan perampasan kekuasaan Partai Komunis Indonesia yang dikatakan didalangi oleh PKI untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari disingkirkannya dari kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu di Indonesia.
Tragedy ini menyisakan duka mendalam bagi bangsa Indonesia yag dilakukan dengan melakukan pengkhianatan dan tipu daya yang jahat sehingga dapat mengelabui rakyat untuk membelokkan kepercayaan rakyat akan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Tragedy ini merupakan peristiwa puncak dari pergolakan politik yang berlaku di Indonesia yang dimulai sejak akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Pada dasarnya, tragedy ini memperlihatkan bagaimana persaingan antara pihak PKI dan tentara yang memperebutkan Indonesia. Menurut Ricklefs (1991), sejak pertengahan 1950-an lagi, keadaan parti-parti politik pada masa itu adalah bersifat defensif dan saling bermusuhan antara satu sama lain dan tidak mungkin untuk bekerjasama bagi mempertahankan sistem berparlimen. Beberapa bulan sebelum puncak dari tragedy ini, banyak pihak yang telah menduga mengenai pengaruh pereseran antara tentara yang bertentangan dengan aliran utama yang berfahaman komunis dan aliran kanan dalam Angkatan Tentara Darat Indonesia. Menurut Scott (2009), hal ini menjadi lebih parah apabila Sukarno dikatakan menjadi lebih memihar pada aliran kiri yaitu berfahaman komunis.
Pada malam pemberontakan tragedy G30S PKI ini dilancarakan, enam orang pemimpin tentera Indonesia telah diculik dan kemudiannya dibunuh di Sumur Lubang Buaya. Mereka ialah: i) Leftenan Jeneral Ahmad Yani yang merupakan Menteri dan Komander Angkatan Tentera Indonesia; ii) Mejer-Jeneral R. Soeprapto, Timbalan II (Pentadbiran) Ibu Pejabat tentera Indonesia; iii) Mejer-Jeneral M. T. Hartono, Timbalan III Inspektor-Jeneral, Ibu Pejabat Tentera Indonesia, iv) Mejer-Jeneral Siswondo Parman, Penolong I (Perisikan) Ibu Pejabat Indonesia; v) MejerJeneral D. I. Pandjaitan, Penolong IV (Logistik) Ibu Pejabat Tentera Indonesia; dan vi) Brigediar-Jeneral Soetojo Siswarninhardjo, Inspektor Hal Ehwal Undang-Undang/Pengacara Keadilan Ibu Pejabat Tentera Indonesia. Lalu mayat mereka dibawa ke Pangkakan Udara Halim dan ditemukan tiga hari kemudian. Lubang tempat para mayat tersebut dikuburkan, kini dikenal sebagai Lubang Buaya.
Tragedy ini selalu hadir dalam perbincangan mengenai sejarah kemerdekaan Indonesia dan ebih dikenal sebagai "black history" yang masih menjadi misteri apakah yang melatarbelakangi tragedy tersebut, siapakah yang bersalah, siapakah yang menjadi mangsa serta siapakah yang menjadi kambing hitam atas tragedy ini. Berbagai pendapat masih muncul di media umum Indonesia. Dengan penggalian dan penelitian yang dilakukan, ditemukan salah seorang saksi hidup dari peristiwa Sumur Lubang Buaya yaitu Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sukitman sempat ikut terseret dalam kejadian tersebut hingga dibawa ke Lubang Buaya. Disana, para jendral dipaksa untuk menandatangani sesuatu dan dibunuh.
"Sekelompok orang mengerumuni sebuah sumur sambil berteriak,"Ganyang kabir, ganyang kabir!" Ke dalam sumur itu dimasukkan tubuh manusia - entah dari mana -- yang langsung disusul oleh berondongan peluru. .... seorang tawanan dalam keadaan masih hidup dengan pangkat bintang dua di bahunya."