Lihat ke Halaman Asli

Haulidam Hamdan Ghaidaq

Mahasiswa Prodi Tarjamah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Minal Aidin Wal Faidzin dalam Bahasa Jawa yang Hampir Terlupakan

Diperbarui: 23 Mei 2020   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksara Jawa (sumber gambar : krjogja.com/berita-lokal)

Sebentar lagi kita akan merayakan hari raya idul Fitri 1441 Hijriah. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki banyak tradisi untuk memeriahkan hari lebaran di berbagai daerah. Mulai dari takbir keliling diiringi tabuhan beduk yang meriah, kuliner hidangan khas seperti ketupat, berziarah ke makam sanak keluarga, dan berkunjung dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi.

Kegiatan halal bi halal adalah tradisi wajib saat lebaran. Sebuah tradisi saling mengunjungi, berkumpul bersama kerabat dekat, dan yang tidak kalah penting adalah saling meminta maaf. Biasanya, kita sering kali mengucapkan "minal aidin wal faidzin", maksud dari ucapan tersebut sebagai ucapan permohonan maaf ketika hari raya lebaran. Beberapa daerah memiliki ucapan pemohonan maaf tersendiri di hari lebaran, salah satunya adalah masyarakat Jawa.

Tradisi meminta maaf dalam masyarakat Jawa biasa disebut dengan istilah "sungkem", sebagai tanda bakti, hormat sekaligus meminta maaf kepada yang lebih tua. 

Masyarakat Jawa saat lebaran, biasa mengucapakan "ngaturaken sedoyo kelepatan" ("mohon maaf atas semua kesalahan saya") dalam versi pendeknya, pada versi panjangnya "Kawulo nyuwun agunging pangapunten sedanten kalepatan kulo, Ngaturaken sugeng riyadi kagem bapak lan ibu sak keluargo" ("saya ucapakan permohonan maaf sebesar-besarnya atas kesalahan yang saya lakukan, selamat hari raya untuk bapak ibu dan seluruh keluarga"). Banyak juga dengan versi kalimat lainnya dalam bahasa Jawa.

Seiring berjalannya waktu, ucapan tersebut mulai memudar penggunaannya. Berganti dengan ucapan yang sering disebarkan melalui media penyiaran baik visual ataupun tulis, hingga media sosial, yaitu dengan ucapan yang lebih sering digaungkan "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Taqobbal Ya Karim, Kullu Amin Wa Antum Bikhoir" ataupun "minal aidin wal faidzin". Bahasa daerah bisa memudar dengan berbagai faktor, salah satunya yaitu globalisasi.    

Memasuki era modern dan globalisasi dimana suatu keadaan menjadi lebih mudah, segala informasi  apapun itu yang  kita inginkan bisa didapatkan dengan sekali klik. Mulai dari menerjemahkan bahasa asing dengan google terjemahan, mencari buku ataupun bahan dan materi pembelajaran tidak lagi sulit dengan menggunakan  google scholer  ataupun iPusnas sebuah platfrom aplikasi perpustakaan nasional yang menyediakan berbagai macam buku digital secara gratis, hingga memasan sebuah makanan antar jemput dengan singkat menggunakan layanan ojek online. Ini merupakan sisi positif dari era globalisasi.

Segi negatif dari globalisasi juga mempengaruhi adat istiadat dan budaya. Masyarakat mulai mengalami culture shock disebabkan masyarakat tidak mampu menahan budaya-budaya luar yang masuk, perlahan mulai menghancurkan budaya lokal, menurunnya rasa cinta terhadap apa yang dimiliki negeri, hingga lunturnya penggunaan bahasa daerah.

Bukti nyata dari lunturnya peenggunaan bahasa daerah terutama bahasa jawa, ketika masyarakat jawa khususnya untuk para remaja hingga dewasa sebagian dari mereka tidak bisa berbahasa Jawa kromo inggil yang merupakan bahasa Jawa yang sopan digunakan untuk percakapan kepada yang lebih tua, dan tidak mampu dalam menulis aksara Jawa.  Orang Jawa dalam situasi ini sering berucap "wong jowo ojo nganti ilang jowone" ("orang Jawa jangan sampai hilang jawanya"), sehingga menjadi sindiran tersendiri bagi kita masyarakat Jawa.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ancaman kepunahan bahasa daerah disebabkan karena kurangnya orang tua untuk mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dalam keluarga. Lingkungan sekolah juga kurang dalam memberikan ruang pada bahasa daerah, contohnya saat kita SD dan SMP adanya mata pelajaran bahasa Jawa sedangkan pada tingkat SMA atau SMU tidak diajarkan.

Pemerintah mempunyai berbagai cara dalam menangani dan meningkatkan penggunaan bahasa Jawa seperti, progam pembelajaran bahasa Jawa yang digalakkan kembali secara fungsional dan menarik, pembuatan kamus guna menghimpun kosa kata bahasa Jawa, dan melalukan penelitian pada bahasa daerah. Bukan hanya mengandalkan pemerintah tapi juga kesadaran diri yang penting sebagai upaya melestarikan bahasa daerah.  

Bahasa Jawa mempunyai tiga ragam tingkatan, pertama kromo ngoko, krama madya, dan kromo inggil. Setiap tingkatan mempunyai perbedaan pemakaian pada lawan bicaranya, di sinilah keunikannya. kromo ngoko dipakai ketika lawan bicara kita usianya dibawah kita atau seumur, kromo madya digunakan pada lawan bicara kita orang yang cukup resmi ataupun sebaya yang ingin dihormati, sedangkan untuk kromo inggil digunakan ketika lawan bicara kita lebih tua atau sepuh dan dihormati.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline