Ibu menggeser duduknya agak ke tengah ranjang, sembari menajamkan matanya ke televisi yang terletak persis di depan ranjang, meski ia kerap memicingkan kedua matanya, namun ia mengakui bahwa penglihatannya masih sangat baik.
"Kok, Pak Harto itu dulunya jadi presiden lama sekali"
Suaranya berbisik, pertanyaan itu telah diulanginya hingga tiga kali, ia seperti menanyakan itu pada dirinya sendiri.
Aku memperbaiki punggung yang sedari tadi bersandar pada bantal di tepi ranjang. Sayup suara ibu kudengar ditengah gema suara pembaca berita yang mengabarkan tentang Berkarya, partai yang dipimpin putra Pak Harto.
Ibuku memasang mata dan telinga begitu lekat ke televisi, ia memperhatikan tiap gambar yang lewat. Sesekali kening tuanya berkerut, mungkin berusaha memahami bahasa-bahasa politik yang dibacakan pembawa berita.
"Berapa tahun ia jadi presiden Wik?" Ia bertanya sambil menatap ke arahku, yang sebenarnya sudah ingin tidur.
"Mungkin 32 tahun Bu". Jawabku datar
Keningnya masih berkerut.
"Kok bisa, seingat ibu belum ada lho presiden lama kayak gitu".
Suaranya pelan, ditimpa iklan lagu mars partai politik yang mengalun di kamar ini. Jam dinding tua berdentang sembilan kali. Aku menguap kecil, ingin memanggil kantuk agar segera hinggap, tubuhku meminta rebah namun mata belum sedikitpun ingin lelap.
Ibuku masih duduk tegak ditengah ranjang, matanya belum lepas dari layar datar yang telah sejam lalu ditatapnya. Tak seperti kebanyakan ibu-ibu di kampung, ibuku tak begitu senang sinetron, tapi sangat menyukai telenovela yang tayang setiap sore. Di jam seperti ini, ia gemar mendengarkan berita, sesekali reality show atau acara sejenisnya.
Mungkin karena negeri ini sedang sibuk mempersiapkan hajatan akbar pemilihan presiden nanti, maka televisi seluruhnya berisi berita-berita demikian. Ibuku termasuk manusia yang lahir di era 60an, masa ketika Pak Harto mulai memimpin Indonesia, maka ingatannya tentang presiden, hanya tertuju pada nama itu.