Lihat ke Halaman Asli

Watak Keras Kepala dan Nafsu Memimpin

Diperbarui: 6 April 2016   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua DPR Ade Komarudin nampaknya tidak bergeming atas kemauannya membangun perpustakaan di lingkungan Gedung Parlemen meskipun banyak pihak menolaknya. Pria yang akrab disapa Akom ini mengaku tetap memperjuangkan perpustakaan yang konon katanya termegah di Asia ini memakan biaya hingga Rp 570 miliar ini, meskipun banyak yang masyrakat meng-bully-nya di media sosial.

[caption caption="sumber foto : kompas.com"][/caption]Penolakan tidak hanya datang dari masyarakat, para koleganya sesama anggota DPR juga menolaknya seperti Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI Achmad Dimyati. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan untuk membangun perpustakaan, dana Rp 570 miliar sangat tidak masuk akal dan terkesan ada “permainan” dalam proyek tersebut. Terlebih lagi, moratorium gedung yang masih berlaku membuat pembangunan perpustakaan akan lebih sulit.

Selain Dimyati, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menolak pembangunan perpustakaan tersebut karena DPR sendiri sudah memiliki perpustakaan yang memadai. Menurutnya uang Rp 570 miliar lebih baik digunakan untuk proyek yang lebih strategis untuk rakyat. Selain itu, menurutnya, perpustakaan yang ada sekarang hanya digunakan untuk staff dan anggota DPR jarang sekali berkunjung ke perpustakaan tersebut. Artinya, minat baca anggota yang masih rendah tidak relevan dengan pembangunan perpustakaan yang nilainya sangat besar.

Bahkan Juru Bicara Partai Demokrat yang juga Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul mengatakan bahwa Akom memang sengaja cari-cari proyek, makanya tidak mau mendengar masukan dari orang lain. Dia pun menyarankan jika memang tujuannya untuk mencerdaskan bangsa, maka lebih baik Akom turun langsung ke lapangan dengan membangun sekolah-sekolah yang tidak layak di pedalaman. Kalau membangun perpustakaan ratusan miliar, terlihat sekali cari-cari proyeknya.

Sikap Akom yang keras kepala seakan bertolak belakang dengan jabatan yang dia emban saat ini. DPR yang merupakan wakil rakyat harusnya mendengar aspirasi masyarakat, bukan memanfaatkan uang rakyat dengan membangun proyek yang bukan menjadi prioritas utama.  Mengutip P. Pigors dalam bukunya “Ledearship and Domination” menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang yang bisa mengakomidir keinginan orang lain (rakyat) untuk menggapai satu juan bersama.

Melihat sikap kepemimpinan Akom dan jabatan Ketua DPR yang melekat pada dirinya, terlihat Akom bukan pemimpin yang bisa menampung keinginan rakyat. Padahal, dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan Akom sebagai Ketua DPR tidak bisa menghormati hak rakyat yang diamanahkan konstitusi negara Indonesia.

Dengan sikap seperti ini, Akom yang kini tengah “berlomba” memperebutkan kursi ketua umum Partai Golkar melawan Setya Novanto dan Airlangga Hartarto, sangat dirugikan. Menurut saya, Partai Golkar membutuhkan pemimpin yang bisa mempersatukan kader partai yang selama ini terpecah dalam beberapa kubu. Perpecahan ini pula yang mengakibatkan partai berlambang Pohon Beringin ini kurang sukses dalam mengikuti Pilkada serentak 9 Desember lalu. Dualisme kepemimpinan membuat para calon kepala daerah dari Golkar kesulitan dalam mendapatkan rekomendasi ketua umum karena saat itu baik kubu Aburizal Bakrie (Ical) maupun Agung Laksono mengklaim bahwa mereka lah Ketua Umum Golkar yang resmi.

Dimediasi tokoh senior Golkar Jusuf Kalla, Ical dan Agung sepakat untuk islah dan membuat Musyawarah Luar Biasa (Munaslub). Diharapkan dengan adanya Munaslub ini perseteruan Ical-Agung benar-benar berakhir dan melahirkan sosok pemimpin baru yang mendengar aspirasi dari daerah dan mampu menyamakan visi-misi Golkar dalam rangka mengembalikan kejayaan Golkar untuk membangun Indonesia lebih baik lagi.

Kembali lagi ke Akom, jika melihat rekam jejak Akom yang keras kepala dan hanya mementingkan “nafsu” pribadi, nampaknya bukan tidak mungkin Golkar akan mengalami konflik internal seperti yang terjadi dalam era Ical.

Untuk memimpin partai sebesar Golkar, dibutuhkan sosok yang mampu mempersatukan kader partai di daerah. Jangan sampai Golkar melahirkan Surya Paloh baru yang mendirikan partai lain karena visi-misinya tidak sama dengan ketuanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline