Esok tepat 30 hari agresi militer Israel ke Palestina berlangsung. Sudah ribuan nyawa masyarakat sipil melayang dengan sia-sia. Gedung sekolah, rumah sakit, perumahan luluh lantak akibat agresi ini. Anak-anak tidak bisa sekolah, Perempuan harus meminum obat penunda haid, dan jeritan tangis terdengar di setiap penjuru kota.
Hari ini tidak ada tempat aman di Palestina. Kamp pengungsian juga tidak luput dari target serangan tentara Israel. Laporan dari Kementerian Kesehatan Palestina setelah serangan ke Kamp pengungsian Bureji di Gaza Tengah, Jabalia dan Al-Maghazi di Gaza total terdapat 4.008 anak meninggal dari total keseluruhan korban jiwa yang mencapai 9.770 selama agresi militer Israel ke Palestina berlangsung.
Angka ribuan ini adalah manusia yang sebagian besar tidak tahu dan tidak ikut berkonflik dalam perebutan wilayah di perbatasan Gaza. Korban jiwa ini adalah bapak-bapak yang bekerja setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ibu-ibu yang merawat anaknya agar menjadi pribadi yang baik, serta anak-anak yang sedang bersekolah untuk menggapai cita-citanya.
Saya masih sangat yakin bahwa tidak ada peperangan yang membawa kebaikan untuk umat manusia. Yang ada hanya pertumpahan darah, jeritan tangis, dan terenggutnya cita-cita besar dari setiap anak korban perang. Saya juga sangat yakin dari ribuan anak yang meninggal adalah mereka yang bercita-cita menjadi dokter, tentara, guru, dan cita-cita mulia lain yang ingin diwujudkan di kemudian hari.
Selain itu saya juga belum menemukan hal baik dari perang yang sekarang sedang terjadi. Saya hanya menemukan ketamakan, egoisme kelompok, dan keinginan saling menguasai. Rasanya sangat tidak fair ketika penguasa dan kelompok tertetu yang berkonflik, namun masyarakat sipil yang harus menjadi korbannya. Masyarakat yang tidak tahu menahu atas konflik yang terjadi.
Jika merujuk pada Konvensi Jenewa, masyarakat sipil seharusnya dilindungi dalam proses peperangan. Semua fasilitas harus diberikan agar masyarakat sipil merasa aman ketika proses peperangan terjadi. Fasilitas Kesehatan, pendidikan, pangan, dan lain-lain harus dipastikan dapat terpenuhi. Tidak boleh ada serangan yang ditujukan pada fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat sipil seperti rumah sakit dan sekolah. Namun bagaimana yang terjadi di Palestina? Beberapa serangan ditujukan ke rumah sakit sentral dan sekolah yang ada di Palestina seperti Rumah Sakit Al Quds, RS Syifa, RS Indonesia di Gaza, dan beberapa sekolah yang dikelola oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sudah sangat jelas, ini adalah kejahatan perang.
Selain merujuk pada segala jenis peraturan, saya masih meyakini bahwa aturan tertinggi dari segala jenis peraturan adalah Humanisme. Tidak boleh ada aktivitas dan segala jenis tindakan yang menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan.
Melihat fenomena agresi militer Israel ke Palestina ini saya teringat dengan cerita Perang Bharatayudha. Dalam perang Bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa terasa jauh lebih humanis dan menggambarkan jiwa ksatria. Perang Bharatayudha dilakukan disebuah tempat yang jauh dari pemukiman penduduk yang disebut sebagai Padang Kurusetra. Yang ada dalam pertempuran tersebut hanya orang-orang yang ingin berperang dengan motivasinya masing-masing. Yang gugur dalam peperangan adalah mereka yang ikut berperang dan sudah siap gugur dalam peperangan, bukan masyarakat biasa.
Namun Se-Humanis-nya peperangan, peperangan tetaplah peperangan. Yang terjadi tetaplah pertumpahan darah. Saya meyakini tidak ada jenis kekeuasaan apapun yang setimpal dengan setetes darah manusia.
Segera sudahi peperangan ini. Masa depan anak-anak korban perang jauh lebih berharga daripada sepetak tanah.