Generasi Islam saat ini mungkin tekaget-kaget dan agak sedikit menyangsikan sekaligus kecewa. Mereka kurang begitu beruntung, sebab mereka dilahirkan di masa di mana Islam menjadi sorotan. Jika sorotan baik itu tidak masalah. Tapi jika sorotannya negative, tentu itu menjadi hal yang mengganggu dan mencemaskan. Apalagi jika sorotan itu menjadi penilaian yang terpolakan dan naik level menjadi identik yang tak terbantahkan.
Kita mungkin secara teori dapat membantah bahwa itu semua adalah hasil propaganda yang sudah tergendakan secara sistematis. Tapi, pada kenyaataannya, penilaian itu memang tidak benar-benar bisa terbantah, bahkan oleh kita sendiri. Dan ini yang kini menjadi titik jenuh yang jika tidak diantisipasi secara jernih dan bijak akan menjadi boomerang. Terjebak dalam problem identity yang penuh dilema. Maju kena, mundur kena.
Saat ini image negative Islam akan terus dibangun dan terbangun. Ketika berbicara kebersihan, Negara Muslim akan identik sebagai Negara sampah. Ketika bicara indeks korupsi, Negara Muslim masih terketegori sebagai zona tinggi korupsi. Ketika berbicara pengangguran, Negara Muslim masih terus identic memproduksi pengangguran. Ketika berbicara rating kualitas pendidikan Negara, Negara mereka masih terkategorikan sebagai Negara yang pendidikannya berkualitas buruk. Ketika berbicara angka melek huruf, Negara Muslim masih menjadi Negara yang paling tidak sadar dengan kebutuhan melek huruf. Dan seterusnya.
Dari ketidakjelasan kondisi dan kemunduruna kualitas, sebagai orang Muslim tentu kita butuh solusi yang dapat mengatrol itu semua. Dibutuhkan solusi konkret dan tersistematis. Solusi yang dapat menggabungkan antara idealism, sikap, dan aksiIman, ilmu dan amal. Tanpa itu semua, agaknya kekalutan image itu susah untuk luntur dari identitas muslim kita.
Tanpa adanya pengejawentahan antara idealism dan sikap, penilaian-penilaian negative akan terus melekat dan susah unntuk dilucuti dari tubuh identitas. Sudah menjadi barang tentu, dibutuhkan re-mindset secara radikal untuk memulai. Dan itu berawal dari kepercayaan diri atau 'self confdence' umat Muslim.
Jika diamati, sebenarnya kondisi umat Islam saat ini tidak jauh berbeda dengan Umat Islam pada saat awal nabi Muhammad diutus. Pada waktu itu mereka sedang mengalami keadaan yang memaksa mereka harus minder. Hanya sedikit yang masih kuasa untuk mendongak ataupun mensejajarkan kepala dengan bangsa-bangsa lain. Keberadaan umat Islam pada waktu itu dikepung oleh tiga peradaban besar yang maju disbanding peradaban mereka. Pengepungan tersebut hampir disegala aspek kehidupan, termasuk budaya, kultur, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Tiga peradaban besar itu adalah Romawi, Persi dan Yunani atau Hindi dalam sebagian literatur.
Atas keselarasan ini, Dr. KH. Abdul Gofur MA. pada waktu Masa Ta'aruf Pon-Pes mengatakan:
"...Saya melihat keadaan umat Islam saat ini sama dengan umat Islam saat di mana nabi diutus pada awal mulanya. Pada waktu itu, umat Islam sedang mengalami inferior complex. Mereka sedang merasa silau dengan bangsa lain yang secara peradaban mapan pada waktu itu. Namun berkat ketangguhan perjuangan beliau, umat Islam pada waktu itu sanggup merasa sejajar denga bangsa lain. Dan mereka merasa bahwa semua bangsa dilahirkan secara 'Equal'. Pembagunan mental ini sendiri dilakukan nabi selama kurang lebih 23 tahun."
Alur solusi yang diterapkan nabi dalam membenahi 'Inferior Complex' umat Islam menempatkan pembenahan mental menjadi dasar dan pijakan bagi langkah strategis selanjutnya, yaitu pengetahuan dan aksi. Sebelum melangkah dalam membenahi pengetahuan dan aksi orang Islam, nabi ingin menciptakann pondasi-kokoh yang menjadi kunci bagi langkah-langkah tersebut.
Nabipun sangat menyadari bahwa langkah strategis selanjutnya susah dan tidak mungkin ditegakkan dan direlisaksian tanpa adanya "Kepercayaan Diri" menancap di sanubari umat Islam. Dengan demikian pembangunan mental menjadi kartu truf bagi nabi untuk kegiatan strateigs lanjutan dalam membangun peradaban.
Bagi masyrakat saat ini, potret keminderan dapat kita saksikan secara gambling dan gampang; Kita dapat menyaksikan secara mudah keminderan dan kerendahan diri masih menyelimuti orang-orang Islam, terutama Indonesia. Yang sederhana, jika ada orang Barat atau orang Eropa yang berkunjung, orang Idonesia umumnya menganggap mereka sebagai spesies unggul dan susah ditandingi.