Tiba di Padang (30/10/22) miris melihat dan membaca informasi bahwa masih saja ada pemerintah daerah melarang pemakaian plastik atau kemasan plastik. Maaf terlambat terbit artikel ini karena kesibukan dalam perjalanan di Sumatera Barat.
Pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) mengeluarkan kebijakan pelarangan plastik ini hanya semata mengatasi sampah plastik, marak pasca 21 Februari 2016, sejak penulis kritisi kebijakan pemerintah cq: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjual kantong plastik di toko ritel modern, dalam programnya disebut Kantong Plastik Berbayar (KPB).
Banyak alasan kenapa penulis menolak kebijakan tersebut, sudah banyak di share di media ini dan wawancara-wawancara penulis diberbagai media, termasuk TV Nasional.
Bahkan pada media-media asing, penulis telah ungkapkan dan malah penulis sudah memberikan solusi pada Menteri LHK, tapi pemerintah masih saja menjual kantong plastik sampai sekarang.
Baca juga: Biaya Sampah Bukan dari APBN/D dan Retribusi, Tapi dari EPR dan CSR
Alasan mendasar penulis menolak dan memberi solusi adalah kebijakan KPB tersebut yang diberlakukan di seluruh Indonesia, hanya beralaskan Surat Edaran (SE), sementara kebijakan tersebut memungut duit rakyat, dimana seharusnya kantong belanja ini harus digratiskan pada konsumen (baca: KUH Perdata Pasal 612 dst).
Jadi penyediaan kantong atau wadah belanja tersebut menjadi hak konsumen dan kewajiban penjual atau toko ritel tradisional dan modern).
Hal kantong kresek belanja dan jenis wadah lainnya tersebut yang selanjutnya menjadi sampah, itu mempunyai aturan tersendiri melalui UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Jadi solusi sampah itu bukan dengan menjual atau meniadakan plastik di toko ritel, termasuk meniadakan penggunaan botol plastik dengan mengganti tumbler, sedotan plastik diganti alumunium, bambu, besek bambu dan lainnya. Bukan begitu cara mengatasi sampah.
KLHK Memberi Cara Keliru Pemda