"Regulasi sampah sangat menarik untuk dikaji, karena belum dijalankan dengan benar oleh pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) sebagai regulator dan fasilitator persampahan. Mari kita jujur pada rakyat, sampaikan dan berikan hak-hak rakyat yang melekat pada regulasi, mereka aset dalam urusan sampah, agar Indonesia bisa segera bebas dari darurat sampah." H. Asrul Hoesein, Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Jakarta.
Dimana dan kapan saja, serta oleh siapapun juga, rakyat selalu menjadi "pesakitan". Terdepan yang disalahkan dalam kaitan pengelolaan sampah, rakyat yang dianggap tidak patuh dan taat terhadap aturan dan kewajibannya.
Stigma kesalahan itu selalu saja melengket atau dilengketkan oleh pemerintah dan pemda kepada rakyat secara umum, padahal tidak demikian adanya, bukan rakyat yang salah. Ulangi dan dicatat bahwa bukan rakyat yang salah!
Kalau dicermati secara mendalam melalui kacamata aturan perundang-undangan yang berlaku, justru rakyat yang paling terakhir bisa disalahkan, karena sebagai produsen atau pabrik sampah yang paling ahir atau hilir adalah rakyat.
Selanjutnya rakyat atau konsumen menjadi hulu daripada sampah. Di sinilah "ruang rakyat menerima hak" edukasi dan fasilitasi untuk menjalankan fungsi atau sistem 3R (reduce, reuse, recycle) pengurangan, penggunaan ulang ataupun daur ulang.
Baca Juga: Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Artinya kalau rakyat bersalah, berarti ada kelompok terdepan yang lalai/salah dari tanggungjawabnya, di sana ada pengusaha sebagai produsen barang yang sisa produknya berahir menjadi sampah di masyarakat (baca: rakyat).
Lalu siapa produsen atau pabrik sampah?
Mari kita ketahui bahwa siapa saja yang menjadi pabrik sampah atau hirarki terjadinya sampah, yang dimulai dari perusahaan penyedia bahan baku kemasan, industri produk, distributor, pedagang penjual produk dan terahir rakyat sebagai konsumen, dimana posisi terahir sampah itu berada.
Sementara perusahaan industri produk berkemasan dan non-kemasan ini diikat oleh Pasal 15 UU 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), atas kewajibannya untuk menarik kembali sisa produknya yang berahir menjadi sampah.
Itulah yang disebut sebagai kewajiban perusahaan atas perintah Pasal 15 UUPS atau kewajiban itu disebut Extanded Producer Responsibility (EPR) yang merupakan kebijakan Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang diperluas. (Baca: Presidensi G20, Pemantik EPR Sampah Menuju Industri Hijau).
Baca Juga: Biaya Sampah Bukan dari APBN/D dan Retribusi, Tapi dari EPR dan CSR