"Perusahaan produk berkemasan dan non kemasan ataupun pemilik kawasan tidak perlu berkelit untuk menghindari kewajibannya dalam melaksanakan pengelolaan sampah, baik melalui dana Extanded Producer Responsibility (EPR) ataupun dana Corporate Social Responsibility (CSR) maupun mengelola sampah di kawasan industrinya sendiri, karena keuntungan semata yang akan diperoleh. Bukan menuai kerugian, justru merupakan investasi sosial dan ekonomi bisnisnya sendiri." H. Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.
Mengelola dan mengolah sampah produk berkemasan maupun sampah di kawasan industri adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan, pengelola dan/atau pemilik kawasan. Sebuah kewajiban yang berdampak positif bagi pelakunya sendiri, tidak perlu dihindari, malah bisa menyusahkan bila diabaikan.
Kalau kewajiban tersebut dijalankan di atas relnya masing-masing, maka akan memperoleh manfaat dan menciptakan lapangan kerja baru. Bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban mengelola sampah sesuai amanat Pasal 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Termasuk pemerintah dan pemda akan terbantu dalam pembiayaan pengelolaan sampah di daerahnya masing-masing, sekaligus mencegah pelanggaran atas kejahatan pengelolaan sampah sesuai Pasal 43 UUPS.
Baca Juga: Negara Kalah dan Rakyat Menderita dalam Urusan Sampah
Perusahaan produk berkemasan, khususnya yang berpotensi menjadi sampah ataupun pengelola kawasan yang menimbulkan sampah akan mendapat manfaat ganda diantaranya mendapat insentif (Pasal 21 UUPS), terlebih akan bebas dari pelanggaran hukum (disinsentif). Karena mencegah kesalahan dalam mengelola sampah.
Selama ini umumnya perusahaan kawasan dan industri melanggar UUPS, karena baik secara sendiri-sendiri (dalam dan luar) perusahaan bersama mitranya, seperti perusahaan mitra transporter maupun bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) pemda.
Semua diduga melanggar Pasal 43 UUPS yaitu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 adalah kejahatan. Karena ada sampah (bernilai ekonomi) dijual bebas, tapi umumnya dibuang ke TPA. Indikasi permainan antara perusahaan dan mitranya ataupun bersama pihak oknum pemda atau DLHK.
Baca Juga: Apa Kabar Usia 12 Tahun UU Sampah?
Banyak pemilik kawasan dan industri yang menghasilkan sampah di kawasannya (baik sampah domestik maupun sampah spesifik) yang masih bernilai ekonomi menghindari regulasi karena cara berpikirnya akan merugikan dirinya secara pribadi dalam menjual sebagian sampahnya dan sebagian lagi dibuang ke TPA. Padahal kalau mengikuti regulasi UUPS, tidak perlu main kucing-kucingan alias berbohong dalam urusan sampahnya.
Pengelola kawasan merasa bisnis (jual-beli) sampah yang masih layak dijadikan bahan baku dan di jual, sekaligus merasa terganggu menarik dana operasional perusahaan untuk mengeluarkan limbah atau sampahnya dari kawasannya, mungkin merasa terganggu bila jalankan regulasi sampah dan termasuk regulasi CSR. Semua ini terjadi karena kurang memahami sisi positif dari UUPS.