"Dalam pengamatan lahan pascatambang di berbagai daerah di Indonesia, hampir pasti belum ada perusahaan yang melakukan reklamasi pascatambang. Baik itu tambang batu bara, nikel, emas, timah, pasir besi, pasir silika atau kuarsa dan lain sebagainya. Semuanya ini merupakan kelalaian pemerintah dan pemda dalam menegakkan regulasi pascatambang, padahal sangat mudah di reklamasi dengan menggunakan sampah organik." Asrul Hoesein, Founder Green Indonesia Foundation (#GiF) Jakarta.
Hampir pasti perusahaan pertambangan yang banyak tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, mengabaikan kewajibannya untuk mereklamasi bekas tambang yang dikelolanya. Setelah mereka eksplorasi lahan tambang yang dikuasainya, dibiarkan saja menganga berlubang, meski mereka secara hukum wajib mereklamasi sesuai perjanjian yang dibuatnya bersama pemerintah pusat dan daerah.
Satu sisi kelemahan pemerintah kita, lemah pada monitoring dan evaluasi pada kebijakan yang telah dikeluarkannya sendiri. Ahirnya muncul dugaan publik bahwa terjadi konsfirasi antara pemda dan pengusaha pertambangan. Fakta lapangan banyak pejabat pemerintah terjerat kasus korupsi akibat pemberian izin tambang.
Padahal menjadi tanggung jawab oleh perusahaan tersebut untuk kembalikan fungsi lahan tersebut agar menjadi aman terkendali dan produktif. Tentu dengan inovasi atau rekayasa teknologi pertanian dan pemupukan ramah lingkungan, yang bisa membantu meningkatkan nilai guna lahan bekas tambang, baik untuk lingkungan maupun masyarakat sekitarnya agar tidak menelan korban jiwa akibat dampak negatif bekas lahan tambang.
Paling mendesak untuk dilakukan reklamasi bekas tambang adalah di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur. Saat ini terjadi kontra data temuan lubang bekas tambang di IKN, yaitu dari Pemerintah cq: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
mengklaim hanya ada sekitar 500 lubang bekas tambang, sementara data dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) diperkirakan ada sekitar 1.500 lubang bekas tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi.
Perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan yang ekstraktif sangat bergantung pada ketatnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah setempat. Sayangnya, regulasi pascatambang yang mengharuskan perusahaan melakukan reklamasi bekas lahan tambang belum maksimal disertai pengawasan yang ketat.
Baca Juga: Lubang Bekas Tambang Batu Bara Kembali Makan Korban, Total Sudah 40 Orang
Solusi Lahan Pascatambang
Pembukaan lahan tambang satu sisi harus diterima, karena menghasilkan bahan baku produksi dan energi. Namun mengakibatkan penurunan produktivitas tanah, dimana masalah utama yang akan timbul pada wilayah bekas lahan tambang adalah perubahan lingkungan, lahan semakin rusak tanpa reklamasi.