Lihat ke Halaman Asli

H.Asrul Hoesein

TERVERIFIKASI

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Setop Sesat Pikir Memahami EPR Pengelolaan Sampah

Diperbarui: 2 Oktober 2020   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Sisa produk berkemasan yang menjadi sampah dan penerapan EPR untuk memudahkan pembiayaan dalam pengelolaannya. Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF

Extended Produsen Responsibility (EPR) secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk daripada fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang menjadi sampah.

Pelaksanaan EPR dalam tata kelola sampah di Indonesia, sepertinya terjadi sesat pikir dan rencana pola tindak dalam melaksanakannya. Karena lebih disebabkan pada pemahaman yang minim tentang substansi EPR sekaitan regulasi persampahan yang belum menyatu-padu antar pemangku kepentingan (stakeholder). Pelaksanaan EPR harus satu sistem yang harus ditetapkan secara baku oleh pemerintah (Presiden dan DPR). 

Pelaksanaan EPR di luar negeri sedikit berbeda dan berat dibandingkan dengan EPR Indonesia yang berdasar UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). 

EPR di Indonesia lebih ringan, karena pembayaran EPR dibebankan pada konsumen. Hanya mekanisme atau sistem pelaksanaannya yang perlu dibuat rapi dan transparan agar tidak menjadi bancakan korupsi. Agar pula tujuan EPR tercapai untuk perbaikan lingkungan yang terbebas dari sampah kemasan plastik atau kemasan lainnya.

Menyambung opini penulis sebelumnya di kompasiana dengan judul "EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah" pada intinya EPR merupakan Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang diperluas, di mana hal tersebut merupakan investasi yang seharusnya mendapat dukungan dari perusahaan produsen berkemasan bila ingin mendapat tempat di konsumennya masing-masing. Karena bila perusahaan menghindari kewajiban atas tanggung jawabnya terhadap EPR, bisa berujung produknya dijauhi konsumen (baca: masyarakat).

Bukan malah sebaliknya menolak pelaksanaan EPR, pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah taktis dan teknis untuk persiapan penerapan EPR tahun 2022, hampir semua negara di dunia telah menjalankan dengan baik EPR tersebut. Suprastruktur dan infrastruktur EPR terdepan harus segera terbentuk di setiap desa dan kelurahan seluruh Indonesia. 

Justru bila EPR diaplikasi dan berjalan sesuai mekanismenya, maka semua komponen akan diuntungkan. Mulai dari pemulung atau pengelola sampah, industri daur ulang sampai kepada perusahaan industri berkemasan sendiri. 

Paling penting dan harus menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda), jangan sampai kecolongan oleh perusahaan produsen berkemasan yang telah memasukkan nilai EPR terhadap produknya selama ini, tapi tidak dilaporkan dan tidak terpantau. Karena dalam regulasi persampahan, pemerintah memberi kebijakan untuk memasukkan nilai EPR ke dalam mekanisme harga produk yang dibayar oleh konsumen. 

EPR Merupakan Beban Bersama Stakeholder

EPR merupakan kebijakan dari pemerintah yang tertuang dalam UUPS, di mana produsen bertanggung jawab atas kemasan yang dihasilkan dari produknya. Tapi hingga saat ini penerapan EPR masih berjalan secara sukarela. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline