"Program CSR dan EPR memerlukan konsistensi dan komitmen antar pihak secara jujur dan terbuka untuk mendukung keberlanjutan usaha industri dan lingkungan secara sinergis dalam pengelolaan dan pengolahan sampah Indonesia" Asrul Hoesein, Founder Green Indonesia Foundation Jakarta.
Sebenarnya negara pertama memulai program Extended Producer Responsibility (EPR) adalah Swedia. Konsep program dimana perusahaan produk berkemasan berkewajiban mengelola ex produknya atau sisa produk yang berahir dengan sampah.
Dalam laman Wikipedia menyebut bahwa konsep ini pertama kali diperkenalkan secara resmi di Swedia oleh Thomas Lindhqvist dalam sebuah laporan tahun 1990 kepada pemerintah Swedia.
Program EPR akan membuat produsen produk bertanggung jawab untuk seluruh siklus hidup produk dan terutama untuk pengambilan kembali, daur ulang, dan/atau pembuangan akhir dengan kerja sama pihak terkait.
Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia.
Korelasi antara Sampah, CSR dan EPR
Perkembangan isu lingkungan global, perlu dibarengi konsep dan aplikasi terhadap fungsi tanggung jawab sosialnya atau Corporate Social Responsibility (CSR) sangat terkait dan saling berpengaruh, termasuk di Indonesia.
CSR tidak semata menjadi kewajiban sosial perusahaan, namun juga dikaitkan sebagai konsep pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development) baik pada produksi, maupun terhadap pemasaran usaha dan lingkungan. CSR yang dipakai atau disalurkan secara baik, akan bernilai investasi.
Namun sayangnya sebagian besar korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya. Masih banyak perusahaan CSR keliru dalam mendukung pengelola sampah dan/atau bank sampah. Maka keduanya (pemberi dan pemanfaat CSR) tidak mendapat manfaat secara berkelanjutan.
Mantan Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan kepedulian industri di Indonesia terhadap fungsi CSR parah karena masih kurang dari 50% yang menerapkan program CSR terutama di bidang lingkungan dan persampahan.