"Prinsip utama pupuk organik adalah produksi di wilayah pemakaiannya berbasis sampah. Bukan didatangkan dari luar daerah, terlebih antar pulau. Itu sudah menyalahi kaidah pupuk organik yang seharusnya efisien dan efektif serta pemerintah dan pemda harus mampukan masyarakat atau petani untuk memproduksi pupuk organik, utama untuk kebutuhannya." Asrul Hoesein, Green Indonesia Foundation.
Sejak dikeluarkan kebijakan subsidi pupuk organik tahun 1970 dan reorientasi pada tahun 2003 dan berlanjut sampai sekarang, belum pernah pemerintah mencapai target produksi dan supplier termasuk kualitas masih diragukan.
Bahkan timbul stigma petani dan penyuluh lapang pertanian bahwa pupuk organik dianggap tidak bermanfaat dan tidak diketahui kelebihannya dibanding pupuk anorganik.
Bagaimana tidak terjadi masalah berkepanjangan dan dianggap mubazir saja subsidi pupuk organik tersebut, karena dosis pemakaian dan kualitasnya tidak sesuai dengan normanya.
Di aplikasi apa adanya saja. Hanya sekadar menggugurkan kewajiban atas perintah subsidi tanpa memikirkan azas manfaatnya.
Petani dan penyuluh lapangan juga tidak pernah dibekali dan diberi pemahaman ekstra tentang eksistensi pupuk organik sebagai pembenah dan mengembalikan unsur hara tanah yang hilang akibat pupuk kimia dari masa ke masa.
Percuma adanya mekanisasi pertanian bila unsur hara tanah habis.
Kebijakan subsidi pertanian mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan keadaan, dimana jumlah lokasi anggaran subsidi cenderung meningkat.
Namun efektivitas kebijakan subsidi mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan karena berbagai masalah yang timbul dalam implementasinya. Sangat dilematis dan misteri.
Subsidi pupuk adalah alokasi anggaran pemerintah untuk menanggung subsidi harga pupuk, yaitu selisih antara harga subsidi dan harga non subsidi. Sementara harga subsidi adalah harga eceran tertinggi (HET), sementara harga non-subsidi adalah harga pokok penjualan (HPP) pupuk.