Saat walikota, bupati, gubernur dan beberapa kementerian yang melarang penggunaan kantong plastik atau jenis plastik yang dianggap sekali pakai di daerah atau di dalam lingkup kantor masing-masing yang bersangkutan. Masih dianggap biasa saja atau setengah keliru karena bukan lembaga negara atau kementerian periset.
Setelah Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak, mengeluarkan Instruksi Menteri No. 1/M/INS/2019 tertanggal Jakarta 25 Juni 2019 tentang Larangan Penggunaan Kemasan Air Minum Berbahan Plastik Sekali Pakai (PSP) dan/atau Kantong Plastik di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan perguruan tinggi negeri, sangatlah mengherankan.
Menristekdikti menginstruksikan kepada seluruh unit kerja di Kantor Kemenristekdikti, Rektor perguruan tinggi negeri dan lembaga lainnya dalam layanan pendidikan tinggi. Hal itu bisa dianggap sangat luar biasa, apalagi bila diikuti persetujuan oleh perguruan tinggi. Dimana muka para guru besar perguruan tinggi negeri yang memahami secara obyektif keberadaan plastik. Karena pasti kebijakan tersebut tanpa melalui riset.
Surat Instruksi Menristekdikti itu sampai tulisan ini diterbitkan belum ada dalam berita online dan media cetak. Tapi surat kebijakan atau instruksi Menristekdikti ini masih beredar atau pada diskusi-diskusi di group-group whatsapp.
Selain melarang penggunaan PSP dalam lingkup kerja, Menristekdikti juga menyorot untuk mengurangi penggunaan spanduk, backdrop, baliho, media lainnya yang berbahan plastik pada kegiatan rapat, sosialisasi, pelatihan dan kegiatan sejenis lainnya dalam lingkup Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Menjadi pertanyaan bahwa kalau tidak bisa atau diminta kurangi menggunakan bahan plastik, maka mau pakai apa untuk pengganti kebutuhan promosi outdoor dan indoor dalam melengkapi sosialisasi, banner atau spanduk. Karena bila ingin mengganti bahan kain, juga berbahan plastik. Baju saja yang kita pakai itu berbahan arau mengandung plastik.
Sungguh sangat aneh dan ajaib sebuah lembaga negara atau kementerian yang khusus menangani "RISET dan TEKNOLOGI" yang tidak "MERISET" lebih jauh secara komprehensif atau dengan melibatkan terlebih dahulu perguruan tinggi negeri yang diinstruksikan mengikutinya.
Dinyakini bahwa, kebijakan Menristekdikti tersebut tidaklah disetujui oleh semua pihak dalam lingkup perguruan tinggi. Karena ini sama saja mencoreng wibawa akademisi atau perguruan tinggi itu sendiri bila menyetujui pelarangan PSP, walau itu hanya dalam lingkungan kantornya sendiri. Kalau mungkin dirumahnya, itu terserahlah, karena sudah merupakan hak atau ranah pribadi.
Karena sesungguhnya solusi sampah bukan dengan melarang penggunaannya. Tapi dengan mengelola sisa produk yang tidak dipergunakan lagi, untuk kembali dimanfaatkan sebagai bahan baku daur ulang. Hal tersebut sangat nyata dalam regulasi persampahan.
Sungguh memalukan nasib "pendidikan tinggi" negeri ini, sedang disuguhi akrobatik yang bermuatan pemahaman yang subyektif atau kebijakan yang dimotivasi atas issu plastik yang menggelinding sejak tahun 2015 akibat kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) yang keliru aplikasi dan masih misterius sampai sekarang.
Tabir KPB akan semakin mengejar dirinya sendiri. KPB benar-benar menjadi pemantik maha dahsyat, sehingga muncul pemikiran, gerak langkah dan kebijakan yang akan menjadikan barometer bobot "kepekaan" atau "ilmu dan pengetahuan" seseorang atau sekelompok anak manusia yang memiliki gelar akademik berjejer.