Lihat ke Halaman Asli

H.Asrul Hoesein

TERVERIFIKASI

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Terjadi "Sosial Distrust" dalam Kelola Sampah Indonesia

Diperbarui: 4 Mei 2019   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Penulis survey TPST/TPA Piyungan Kabupaten Bantul, DI. Yogyakarta (12/04). Sumber: Pribadi

Pemikiran ini merupakan sumbangsih atau prolog diskusi sebagai narasumber pada Fokus Group Diskusi (FGD) dengan tema "Bank Sampah: Masalah Dekonstruksi dan Nilai Peradaban" oleh Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), besok di Kampus UNS Solo, Jumat (3/05/19). Sekaligus bedah buku "Bank Sampah, Masalah dan Solusi" Penulis: Asrul Hoesein, Founder Green Indonesia Foundation Jakarta.

Sebagaimana dikatakan John Locke, filsuf Inggris, dalam Social Contract Theory bahwa suatu sistem hukum diciptakan oleh otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan bahwa melalui kedaulatan pemerintah (government sovereignity) hak-hak mereka dapat dilindungi dan menciptakan keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Kebobrokan penegakan hukum, melahirkan mental korupsi. Sebagaimana yang melanda republik tercinta Indonesia. Banyak sudah pemimpin-pemimpin kita terjerumus kelembah nista korupsi. OTT para pejabat dan pengusaha oleh KPK menjadi hiasan media pemberitaan setiap hari. 

Belum lagi kinerja birokrasi yang labil, ego sektoral sangat kental. Bahkan alergi menerima pendapat masyarakat, karena mungkin dianggap menggurui. Kasian republik tercinta, sampai diobok-obok oleh bangsanya sendiri. Lalu parahnya, orang-orang luar ikut nimbrung dalam kondisi carut marut. 

Membangun kepercayaan tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat dan pula tidak bisa dilakukan dengan sekedar menutupi luka. Butuh waktu panjang, karena hanya waktu yang bisa menjadi barometer sebuah kepercayaan. 

Para panutan (baca: birokrat) mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota sampai kepala desa terjerumus ke penjara karena korupsi uang rakyat, begitu ganasnya pengaruh duniawi. Termasuk para pengusaha kroninya dan juga para legislator, mulai dari DPD-RI, DPR-RI sampai kepada DPRD provinsi, kabupaten dan kota. Kepada siapa lagi masyarakat mengadu? Seperti anak ayam kehilangan induk. Fenomena inilah terjadi dalam pengelolaan sampah di Indonesia.

Seharusnya kehadiran UU. No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang terdiri atas 89 pasal ini, menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Tapi senyatanya jauh panggang dari api. Para oknum penyelenggara negara mengabaikan kewajiban-kewajibannya. Lebih mendahulukan pribadi dan kelompoknya. 

Juga undang-undang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat. 

Dilematis Regulasi Sampah 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline