Perlu saling mengingatkan agar Indonesia keluar dari keadaan darurat sampah yang berkepanjangan. Hanya berkutak-katik pada issu plastik, ahirnya melahirkan beberapa solusi parsial yang tidak menyeselesaikan masalah. Mari bersama kita sadar, janganlah memperpanjang usia kemunafikan dalam kepura-puraan mencari dan menemukan solusi.
Selama ini kita hanya berbohong dan membohongi rakyat sekaligus menyalahkannya karena dianggap masyarakat tidak peduli. Padahal sesungguhnya sampah ini sangat mudah diselesaikan bila terjadi kolaborasi kebenaran dan bukan pembenaran antar pemangku kepentingan yang tidak berpihak, selain pada rakyat.
Khususnya kepada para pemangku kepentingan - stakeholder - baik birokrasi pusat dan daerah, akademisi, praktisi atau pengusaha, asosiasi, lembaga swadaya atau profesional dan tentunya masyarakat sebagai produsen sampah sekaligus sebagai calon-calon anggota bank sampah. Segera menata hati dan pikiran agar keluar dari permasalahan dan tidak saling merugikan.
Sebagaimana judul tulisan diatas yang berbentuk pertanyaan adalah:
"Kenapa bank sampah mati suri ?"
Karena bank sampah tidak dikelola atau tidak dimanage sebagaimana amanat UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah beserta turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Kedudukan bank sampah sudah diperjelas dan sangat tegas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduse, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah. Dimana bank sampah sesungguhnya merupakan wakil pemerintah terdepan sebagai ujung tombak pelaksana - waste management - tata kelola sampah di Indonesia. Kenapa "umumnya" stakeholder tidak patuh menjalankan regulasi tersebut diatas, sehingga "memunculkan" issu plastik dengan tema sororan terhadap ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan yang berkepanjangan.
Sebuah perdebatan "makna kata atau makna kalimat" yang tidak ada ujungnya. Semua bertahan pada sikapnya dan diduga "sengaja" tidak mau memahami. Terjadi kepura-puraan, ahinya sandiwara itu menampakkan dirinya, karena terlalu lama dalam tempurung. Mungkin kepanasan ?! Kenapa para pihak (pro kontra) dan saling bertahan, karena:
- Oknum birokrasi masih ingin mempertahankan paradigma lama dengan "tetap" membuang sampah ke TPA. Karena dengan pola TPA sangat mudah dan banyak dana sampah bisa dibombardir (baca: korupsi). Berapa banyak dana sampah yang digelontorkan pemerintah dan pemda setiap hari hanya untuk kumpul, angkut dan buang ke TPA ? Belum lagi dana kompensasi warga terdampak TPA yang umumnya pemda tidak transfaran dalam penyaluran dana ini (Penegak hukum harus masuk lidik/sidik pada TPA di seluruh Indonesia)
- Penciptaan solusi yang keliru dan semu dan tidak holistik seperti antara lain; rencana PPn, Cukai Plastik, Stop Impor Scrap Plastik, Aspal mix Plastik, Pembangunan PLTSa dengan Incenerator (Termal) dengan pola kerja sentralisasi, sampai kepada kebijakan radikal oleh pemda yang diendorse oleh pemerintah pusat atas larangan produksi, distribusi, penjualan dan pemakaian kantong plastik. Semua solusi ini melanggar regulasi dan perlindungan konsumen dan kesehatan serta kemandirian usaha di masyarakat.
- Bank sampah hanya formalitas belaka. Tidak berfungsi atau tidak difungsikan sebagaimana keberadaannya. Penikmat bank sampah hanya yang dekat dengan oknum penguasa dan pengusaha yang bermain dibalik layar. Hanya sedikit penikmat bisnis sampah yang bekerja berbasis bisnis murni, tapi umumnya terjadi kolaborasi negatif dalam pengelolaan sampah.
- Pengelola bank sampah masih berparadigma lama dengan berdasar pada keberadaan bank sampah versi terdahulu yang didirikan oleh Mas Bambang Suwerda di Bantul Jogjakarta yang full partisipasi masyarakat sebelum diadopsi resmi oleh pemerintah menjadi sebuah system atau program dalam waste management di Indonesia. Sementara bank sampah dalam paradigma baru pasca regulasi Permen LH.13 Tahun 2012 yaitu keberadaan bank sampah sudah tidak full partisipasi masyarakat lagi, tapi lebih kepada "kewajiban" mendapat dorongan dan fasilitasi dari pemerintah dan pemda (top-down) yang harus dominan dan kuat serta fokus untuk menghadirkan bank sampah ditengah-tengah masyarakat sebagai produsen sampah.
- Pemerintah dan pemda memaksakan pendirian bank sampah induk (BSI) yang dibantu oknum pengusaha dan LSM. BSI ini sangat nyata sebagai pesaing dan pemicu kematian bank sampah secara pelan dan pasti. Keberadaan BSI akan menjadi penghalang "pemilahan sampah rumah tangga dan usaha daur ulang di masyarakat" Begitu kuatnya dorongan "monopoli" ini, sehingga Permen LH No. 13 Tahun 2012 diusahakan untuk di revisi, untuk membuat dan memberi ruang legitimasi pada keberadaan BSI.
- BSI ini bukan lembaga bisnis yang diakui di republik ini, lagi pula sangat jelas dalam regulasi menempatkan koperasi sebagai lembaga bisnis bagi pengelola sampah atau bank sampah.
- Pengelola bank sampah yang umumnya masih pemula sebagai pengusaha. Akan kewalahan beraktifitas memadukan kerja sosial dan kerja bisnis. Maka fakta terjadi saat ini adalah nampak bank sampah bagaikan sebuah usaha pelapak (bisnis konvensional) dengan tidak berjejaring secara profesional. Ahirnya bank sampah sangat kewalahan menyikapi bisnis yang berbasis sampah dengan karakteristik yang unik tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H