Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sepertinya kurang memahami substansi masalah terhadap "issu plastik" atau "issu ramah lingkungan" atas sampah plastik yang merebak sekitar 3 (tiga) tahun lebih lamanya (2015-2019), dimana pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) belum menemukan titik temu solusi.
Karena oknum-oknum birokrasi pusat sampai ke daerah diduga keras sengaja memutar balik regulasi agar mudah mempermainkan dana-dana persampahan. Kondisi ini sangatlah berbahaya bila dibiarkan. Karena akan merugikan lintas sektor.
Membaca pemberitaan surat kabar "Pikiran Rakyat" Bandung tanggal 30 Maret 2019. Rencana salah satu perusahaan asal London - Inggris, Plastik Energy Limited memilih Provinsi Jawa Barat untuk mengolah sampah plastik menjadi solar.
Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam nota kesepahaman antara Pemprov. Jawa Barat dan Plastik Energy Limited di Gedung Negara Pakuan Bandung, Kamis (28/3/19). Diprediksi bahwa rencana ini pasti tidak feasible, karena dipastikan bahan bakunya tidak akan mencukupi dan akan berbenturan dengan bahan baku Industri Daur Ulang Plastik (DUP) serta usaha-usaha UKM dan Koperasi yang berbasis limbah plastik.
Rencana proyek sampah plastik di Jawa Barat tersebut, dimana Plastik Energy Limited akan menggelontorkan (hibah) dana sekitar Rp. 3 triliun lebih, mulai dari tahap perencanaan feasibility study (FS) atau study kelayakan hingga pelaksanaan proyek hingga rampung, yang rencananya akan dimulai tahun 2020. Dipastikan proyek ini akan mubadzir dan pasti investornya akan rugi dan gigit jari atau pemberi hibah dipastikan tidak akan mendapatkan hasil sesuai target dari hibah tersebut. Belum lagi berbicara tentang berapa besar tipping fee yang diminta investor dalam pelaksanaannya.
Seharusnya bila Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memahami masalah sampah plastik dan khususnya regulasi persampahan. Tentu mengarahkan investor tersebut beralih investasi kepada pembangunan infrastruktur persampahan skala kawasan bukan dengan sentralisasi yang tidak masuk dalam kalkulasi ke"ekonomi"an dan terlebih akan berpotensi mengganggu kestabilan industri DUP dan UKMK.
Ridwan Kamil malah seakan hendak menjadi pahlawan kesiangan dengan mengajak investor Plastik Energy Limited untuk mengaplikasi yang tidak hanya untuk satu titik proyek tapi memintanya sampai ke beberapa kota seperti: Bekasi, Bandung, Bogor, Depok, Cirebon dan Tasikmalaya. Karena daerah-daerah tersebut dianggap penghasil sampah plastik terbesar.
Rupanya Ridwan Kamil terjebak pula oleh kampanye-kampanye negatif atau sesat tentang larangan penggunaan plastik. Solusi sampah plastik bukan dengan melarang penggunaan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik. Juga bukan dengan Proyek Aspal Mix Plastik yang berpotensi besar menjadi bancakan korupsi atau dengan membuatnya menjadi minyak bakar atau solar.
Pembangunan industri sampah plastik jadi solar, jelas bahan bakunya tidak akan mencukupi dan pasti pembelian bahan plastiknya murah, yang pada gilirannya mesin industri akan menjadi besi tua dan juga akan berbenturan dengan Industri Daur Ulang Plastik (DUP) serta usaha-usaha UKM berbasis limbah plastik.
Rencana proyek hibah investasi "sampah plastik solar" tersebut dipastikan akan mubadzir alias mangkrak atau akan menjadi besi tua saja. Karena tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku atas mesin terpasang. Sama nasibnya "proyek aspal mix plastik" yang menyisakan banyak tanda tanya.