Kesepahaman dan keselarasan pergerakan dalam mengatasi masalah sampah di Indonesia mutlak diperlukan. Urusan sampah yang berbau menyengat ini memang dibutuhkan semangat gotong royong yang tinggi. Tanpa itu semua mustahil bisa menyelesaikan masalahnya.
Percuma saja membahasnya melalui seminar, FGD, workshop, belajar teknologi atau study banding dll. Itu semua hanya menghabiskan energi dan menguras uang rakyat saja. Benar kan?!
Dalam amatan dan faktualisasi yang penulis rasakan dan temukan selaku pemerhati persampahan dan lebih khusus mengawal regulasi sampah. Terjadi disharmonisasi antar stakeholder persampahan Indonesia yang sangat tajam dan saling menelikung serta memangsa satu sama lainnya. Termasuk antar Kementerian, saling tumpang-tindih dan hmmm sangat memalukan.
Padahal solusi sampah ini sangatlah mudah, karena regulasi sampah Indonesia sudah masuk kategori ideal dibanding regulasi negara-negara lain.
Hanya memang kelihatan "niat" oknum elit penguasa di kementerian yang ngeyel dan tidak malu. Ahirnya pemerintah daerah (pemda) juga ikutan melanggar regulasi persampahan.
Sebagian besar menganggap sampah tak memiliki sisi menarik. Selain baunya menyengat 'aduhai' sampah juga sangat berpotensi menciptakan beragam penyakit.
Tetapi tahukah kita bahwa dibalik aroma dan penyakit itu, tumpukan sampah adalah tumpukan berlian yang berkilau. Akibat inilah sehingga dugaan penulis para oknum penguasa tersebut tidak mau bergeser dari paradigma lama.
Terlalu enak fulus sampah ini untuk dinikmati bagi yang melihat potensi rupiah yang maha besar itu. Ujungnya terjadi stag progres dan diprediksi ke depan akan memakan korban penegak hukum. Hotel Gratis alias Hotel Prodeo menanti orang-orang yang serakah tersebut.
Perbedaan dan perdebatan itu sah saja, itulah hidup kehidupan yang menghendaki perbedaan, perbedaan untuk bersatu. Karena keniscayaan berbeda lalu bersatu. Dalam perbedaan itu, kita harus belajar dan mengambil manfaat. Siapa yang bisa mengambil manfaat dalam perbedaan serta melihat perbedaan itu dari sisi positifnya, justru dialah yang akan keluar sebagai pemenang.
Tapi sebaliknya jangan karena perbedaan membawa pertentangan, inilah sebuah kebodohan dan hanya berpikir linear. Hadapi perbedaan itu dengan berpikir dan bertindak paradoks.
Begitu pula dalam menyikapi sampah. Haruslah berpikir dan bertindak paradoks dalam menyikapinya. Hanya orang yang berintegritas kelas dewa atau negarawan yang bisa menyelesaikan masalah sampah. Terlalu banyak pecundang dalam lingkaran sampah ini. Sehingga Indonesia berada pada kondisi darurat sampah yang sustainable.
Dalam kehidupan ada agama dengan kitabnya sebagai pedoman dasar berkehidupan dan berketuhanan. Begitu pula dalam bernegara ada pengaturan bernegara, berbangsa dan bertanah air.