Makassar (10/8) - Membaca dan mengikuti presentasi para narasumber pada pertemuan International Symposium on Marine Plastic Debris Solution di Hotel Swisbell Makassar, Rabu (9/8/17), hampir tidak ada terobosan solusi dan tidak ada narasumber yang mengangkat inkonsistensi regulasi persampahan yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Juga Indonesia terlalu membesar-besarkan "eksistensi sampah plastik". seakan sampah plastik adalah momok bagi Indonesia yang harus diperangi (perhatikan perilaku pemulung dan petugas kebersihan terhadap sampah plastik, lalu apa yang terjadi pada mereka), ini yang tidak dicermati atau mungkin berpura-pura tidak tau oleh para pengambil kebijakan dan pemerhati... Lucu yah... !!!
Sementara belum ada data riel berapa volume sampah plastik Indonesia dan Sampah plastik yang dibawa dari luar negeri masuk ke Indonesia, misalnya melalui kapal laut atau lainnya. Pemerintah hanya berdasar penelitian dari Dr. Jenna Jambeck (Universitas Georgia), dimana hasil risetnya menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dari 192 negara sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan. Dari awal saya koreksi data ini untuk dijadikan acuan kebijakan di Indonesia. Karena yakin bahwa riset tersebut tidak berdasar faktual di lapangan.
Ingat karakteristik sampah Indonesia dominan sampah organik, berbeda sampah luar negeri. Ingat pula Indonesia 60% lautan dan hanya 40% daratan (hanya mengingatkan agar stakeholder memahami data yang ada, jangan telan mentah-mentah). Lebih bijak pemerintah buat data sendiri. Sebuah kebijakan pemerintah akan salah besar bila tidak berdasar pada data yang baku. Jadikan riset Jenna Jambeck sebagai pembanding saja.
Menanggapi Berita dengan judul "Menteri Luhut Bahas Limbah Plastik di Makassar" dan "Pemerintah Bakal 'Sulap' Sampah Plastik Jadi Aspal" Pada berita tersebut, Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang membuka symposium dalam membahas persoalan sampah plastik serta strategi pengurangan limbah plastik menjadi bahan yang bermanfaat.
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, pada beberapa pertemuan dalam dan luar negeri yang bertema lingkungan dan sampah, masih berpendapat atau berada pada kekeliruan dalam menyikapi masalah sampah dan khususnya sampah plastik ini. Lebih hhusus pada Symposium on Marine Plastic Debris Solution di Makassar tersebut, Menteri Luhut lebih kurang mengatakan "Jadi kita nomor dua paling banyak ketumpahan sampah plastik setelah Cina. Dan itu kalau tidak diawasi berbahaya, nanti sampah itu dimakan ikan, bisa terkontaminasi. Jadi ini perlu kita bereskan.
Salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan sampah plastik tersebut, kata Luhut, dengan melakukan pengolahan yang lebih berdayaguna. Ia mengungkapkan akan memanfaatkan sampah plastik menjadi aspal. "Sampah plastik itu membuat aspal bisa lebih kuat dan tahannya lebih bagus serta cost-nya lebih murah, sampai delapan persen (dari produksi aspal pada umumnya)," tuturnya.
Sebenarnya kalau Pak Luhut secara pribadi yang keliru dalam menyikapi dan memahami sampah plastik ini, itu no problem. Tapi sebagai Menko Maritim yang punya staf ahli sangat sulit diterima kesalahan atau kekeliruan itu. Terkhusus lagi bila dihadiri oleh unsur Perguruan Tinggi dan Teman-teman para penggiat atau pemerhati sampah serta LSM/NGO penggiat lingkungan dan persampahan, itu sudah sangat keterlaluan.
Pertanyaannya, Kenapa kekeliruan pemerintah ini dibiarkan ? Kenapa para penggiat dan pemerhati sampah, khususnya asosiasi daur ulang plastik atau asosiasi bank sampah sepertinya tunduk saja tanpa reaksi yang berarti terhadap fenomena sampah plastik ini, padahal sampah plastik itu bahan baku industri daur ulang dan/atau bahan baku kerajinan lainnya. Sampah Plastik (jenis apapun itu) untuk di mix Aspal sangatlah tidak masuk akal dari sisi keekonomian dan kemanfaatan serta sisi keberlanjutannya (sustainable), input dan output sangat tidak masuk akal (beberapa tanggapan dalam bentuk tulisan saya tentang sampah plastik ini, linknya saya sertakan dalam di ahir tulisan ini).
Pesan Untuk Akademisi Dalam Menemukenali Sampah Indonesia.
Bila Pihak akademisi kurang percaya akan riset dan pengalaman kami ini, silakan menganalisasi dari beberapa sudut pandang, selain dari sudut penyelamatan lingkungan, analisa baik-baik input-output (bahan baku) sampah plastik itu (apa dan bagaimana bila di mix Aspal), analisa ke"ekonomi"annya karena Plastik Mix Aspal ini biayanya mencapai dua kali lipat dari aspal hotmix biasa. Karena sampah plastik, bukan sebagai pengganti bahan baku pengaspalan, tapi lebih berfungsi kepada unsur atau menambah daya rekat semata. Setelah menganalisi unsur-unsur penting ini, kaitkan dengan regulasi persampahan yang ada, khususnya UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan PP.81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Janganlah berlindung dibalik penyelamatan lingkungan/laut, lalu melabrak norma lainnya, ini yang berbahaya dan diduga kesempatan koruptif terbuka lebar.
Hal Indonesia disebut sebagai penghasil sampah ke laut terbesar kedua di dunia setelah China. Itu tidak benar untuk dijadikan data baku dalam pengambilan kebijakan pada sebuah solusi sampah di Indonesia. Hal ini sudah beberapa tulisan dan koreksi saya mengcounter hasil survey ini. Survey Jenna Jambeck ini tidak berdasar survey faktual, lebih semata "diduga" hanya berdasar pada data Industri yang ada pada Bank Dunia. Sebagai data pembanding atau motivasi untuk menyikapi sampah ini, ya bisa saja. Tapi jangan jadi sengsara akibat informasi sampah plastik yang terlalu dibesar-besarkan itu, para jurnalist atau media harus memahami sedikit masalah ini, agar masyarakat tidak bingung terhadap keberadaan sampah plastik.