Sebagai salah seorang anggota Komunitas Nasional Tolak Bakar Sampah yang ikut diundang dalam diskusi Draft Peraturan Presiden Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3) cq: Direktorat Pengelolaan Sampah pada hari Jumat 12 Mei 2017 yang bertempat di Hotel Dafam, Jl. MT.Haryono Kav.10A, Cawang, Jakarta Timur.
Pro kontra tentang pembangunan listrik sampah melalui Perpres 18 Tahun 2016 sebenarnya telah berahir setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah yang diwakili 15 orang pemohon perorangan dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), BaliFokus, KruHA, Gita Pertiwi dan Perkumpulan YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi), atas Penolakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
Permohonan uji materiil disampaikan pada 18 Juli 2016 dengan nomor register 27/P/HUM/2016. Sementara putusan MA keluar pada 2 November 2016 oleh Hakim Agung MA yang terdiri dari Is Sudaryono, Yosran, dan Supandi. Maksud dari Peraturan yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 13 Februari 2016. Pertimbangan dari kebijakan itu adalah untuk mengubah sampah sebagai sumber energi dan meningkatkan kualitas lingkungan. Sesungguhnya secara substansif perpres ini dalam mengantisipasi masalah sampah cukup bagus, namun lagi-lagi cara atau strateginya yang salah. pemerintah dipastikan tidak mengejawantah regulasi persampahan yang ada.
Sebenarnya bukan lagi mengundang kami untuk hanya membenarkan dalam menerbitkan Perpres PLTSa ini, tapi harusnya mengajak kami mencari pola atau solusi yang obyektif sesuai regulasi sampah. Namun pemerintah untuk kali keduanya kembali mengendorse perpres ini yang dimotori oleh Kementerian Kordinator Bidang Maritim, yang tentunya didukung oleh beberapa kementerian terkait, terutama KLHK kembali akan menerbitkan perpres dengan susbstansi yang sama namun bahasa dirubah sedikit (sepertinya dalam menghilangkan kata Incenerator termasuk isi perpres dan penjelasan pemerintah dalam diskusi tersebut sangat berbeda) serta alasan dengan bahasa-bahasa yang bisa membawa kabur pengertian pengelolaan sampah kearah yang tidak benar dalam aplikasinya, dalam fakta nantinya tetap mengarah pada teknologi incenerator dan fokus listrik, bukan fokus pada pengelolaan sampah secara umum.
Penjelasan pemerintah dengan mengambil contoh-contoh dari negara-negara lain yang banyak menggunakan incenerator dengan lokasi PLTSa, pemerintah tetapkan dan fokus di Tempat Pengolahan Sampah Ahir (TPA). Lebih parahnya pemerintah sendiri, sepertinya tidak memahami kondisi TPA yang ada saat ini. Hanya mendengar informasi sepihak dari Bupati/Walikota yang tidak seimbang sesuai dengan fakta lapangan.
Sekedar dipahami bahwa pengelolaan sampah di luar negeri dengan menggunakan incenerator itu dengan terlebih dahulu memilah sampah di sumber timbulannya. Lalu Indonesia tidak melakukan pemilahan di sumber. Ini persoalan pula selain rencana penarikan tipping fee yang sangat besar, sekitar 300-500 ribu/ton. Ini sama saja merampok uang rakyat atas nama penyelamatan lingkungan.
Juga lebih parahnya pemerintah mengambil data sampah dari luar negeri (Jambeck) yang surveinya tidak berdasar pula dengan fakta lapangan, hanya berdasar pada sample satu daerah dengan perkalian panjang garis pantai kepulauan Indonesia dan diduga pula mengambil data industri dari Bank Dunia (bekerja dibelakang meja, bukan survey langsung lapangan). Seharusnya Indonesia harus mendata sendiri volume sampah secara faktual. Karena data salah, tentu berimplikasi pada pengambilan kebijakan, ini kondisi riel yang mengerogoti pemerintah saat ini. Seakan sampah, khususnya sampah plastik menjadi momok menakutkan bagi Indonesia.
Padahal pemerintah sendiri yang lalai menjalankan regulasi. Penulis duga terjadi unsur kesengajaan, karena memang fulus di sampah sangatlah besar dan menjanjikan. Ini penulis buktikan kegagalan pemerintah dalam menyikapi sampah plastik. Sengaja dibesar-besarkan masalahnya untuk menciptakan kebijakan semu yang berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.
Dalam penjelasan pada diskusi hari ini, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, Ir.R.Sudirman pada intinya mengatakan bahwa tidak ada jalan lain kecuali Incenerator atau Thermal (teknologi ini disebut dalam perpres) yang bisa mempercepat pengelolaan sampah, "Tidak ada pengelolaan sampah 3R yang berhasil sampai saat ini" demikian Sudirman pada diskusi tersebut. Ya jelaslah tidak berhasil karena pemerintah (KLHK) sendiri dan Pemda Kab/Kota tidak menjalankan regulasi sampah dengan benar, masih banyak pemda yang belum merevisi perda sampahnya, malah sesuai pantauan penulis, ada daerah yang tidak memiliki perda sampah.
Solusi sampah sebenarnya sederhana, yaitu kemauan kuat jalankan regulasi. Coba aplikasi regulasi dengan baik (khususnya Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah) secara rapi dan terstruktur pusat dan daerah, dipastikan sampah akan teratasi dengan sempurna. Beberapa kali penulis diundang mengikuti rapat, FGD dan lain sebagainya (bukan hanya KLHK tapi termasuk beberapa kementerian membicarakan tentang sampah dan utilitas lainnya), pemerintah sangat susah mendengar pendapat atau solusi dari publik/LSM, mereka mengundang LSM atau pemerhati sampah hanya sekedar formalitas belaka, bila diberi solusi, itu akan dianggap angin lalu saja, tidak pernah dibahas. Solusi di tolak tanpa alasan yang jelas. Maka jangan salahkan publik bila kebijakan-kebijakan pemerintah digugat dan digugat terus, fakta gugatan Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah atas Perpres 18 Tahun 2016 dikabulkan Mahkamah Agung.
Pelanggaran yang dibuat oleh pemerintah dan pemda:
- Melanggar Regulasi Persampahan yang ada, seharusnya sampah dikelola di kawasan timbulannya, bukan mengelola secara terpusat, khususnya kota besar sudah tidak memungkinkan lagi pola TPA. Sementara pengoperasian PLTSa membutuhkan volume sampah yang besar, artinya tetap pola sentralisasi di TPA atau pengelolaan satu tempat atau terpusat (sama saja mengelola sampah di TPA, atau bisa disebut TPA gaya baru), dengarkan penjelasan saya pada video rapat tersebut di YouTube "Pemerintah Tidak Jujur Sikapi Regulasi Sampah" Klik di Sini, yang mengcounter rencana pemerintah tersebut karena tidak layak. karena pasti ujungnya menggunakan incenerator dan pasti kesulitan lokasi (jelas tidak bisa dipercepat). Misalnya Kota Makassar, itu memiliki TPA yang sudah tidak valid lagi, seharusnya diadakan rencana penutupan, bukan malah dibuatkan Developmen Enginering Designe (DED) untuk TPA Bintang Lima, mana bisa TPA Kota Makassar dijadikan TPA Bintang Lima ini jelas-jelas pembohongan saja, menghabiskan APBN/APBD saja, sangat koruptif karena minus azas manfaat (Jarak TPA dan Perumahan hanya sekitar 5-6 meter saja), Hanya dibatasi jalan raya. Demikian pun Jakarta, tidak memiliki lokasi yang memadai. Ini sangat berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan sekitar area TPA yang dimaksud. Khusus Kota Makassar, janganlah bermimpi membangun TPA Bintang Lima di Lokasi TPA Tamangapa Antang ini, sebagaimana TPA Sundakwon di Korea Selatan. Ingat pula bahwa sampah hari ini, tidak bisa langsung dikelola oleh mesin PLTSa, minimal harus disimpan selama 2 (dua) hari sebelum diolah. Maka dibutuhkan lokasi yang sangat luas.
- Paradigma pemerintah dalam kelola sampah fokus pada output (hasil ahir), padahal harus fokus pada kesehatan lingkungan atau ramah lingkungan. Kenapa ? Output produk yang dihasilkan dalam pengelolaan sampah itu hanya merupakan bonus (bukan tujuan utama) paradox dengan tujuan usaha yang mengejar profit, belum lagi permainan Tiping Fee (terbuka peluang koruptif sangat besar), sample Jakarta, rencana Tiping Fee dalam proyek PLTSa itu sebesar Rp. 500.000/Ton padahal Tipping Fee Jakarta saat ini sekitar Rp. 125.000/ton, sangat jelas akan menggerogoti APBD. Sementara makna utama pengelolaan sampah adalah menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat. Sepanjang paradigma bertumpu pada output, maka sepanjang itu pula, masalah sampah tidak akan selesai.
- Kementerian Kordinator Maritim dalam membicarakan pengelolaan sampah sangatlah sumir (tidak memahami aspek-aspek persampahan dan karakteristiknya). Hanya memaksakan kehendak dan kekuasaannya dengan basis data yang tidak valid. Ahirnya akan terjadi tumpang tindih pengurusan sampah antar kementerian. Seharusnya Kemenko Maritim atau Kemenko Ekonomi adakan evaluasi regulasi dan SDM atau kementerian pengelola regulasi tersebut. Apa dan dimana salahnya. Kenapa Mahkamah Agung membatalkan Perpres 18 Tahun 2016 tersebut. Itu bukan cuma persoalan teknologi (baca incenerator), tapi lebih merupakan pelanggaran besar terhadap regulasi yang ada. Janganlah berkedok "percepatan" tapi melanggar norma lainnya. Tolong jangan bohongi Presiden Jokowi untuk kedua kalinya mengenai Listrik Sampah ini.
- Pemerintah pusat selayaknya hanya membuat kebijakan yang bukan berfikir dan berbasis eksekusi, tapi hanya jalankan fungsi kebijakan dengan mengarahkan pemda Kab/Kota pada aplikasi regulasi dan monev saja. Tapi fakta pemerintah pusat terlalu berpikir dan membahas detail atau teknis. Seharusnya secara teknis serahkan pemda Kab/Kota untuk mengelolanya sesuai kemampuan daerah dan teknologi yang cocok pada kultur daerah yang bersangkutan. Biarkan pemda berhadapan dengan teknis, pemerintah pusat hanya kunci di regulasi ramah lingkungan.
- Dalam diskusi tersebut, pemerintah sesungguhnya mau memaksakan kehendaknya, dan melakukan diskusi, rapat, FGD itu hanya sekedar formalitas (tidak mau mendengar suara-suara publik). Apakah Anda tidak berfikir akan timbul resistensi dan digugat lagi ?
- Inilah rangkaian kegagalan-kegagalan pemerintah dalam pengelolaan sampah yang tidak kunjung selesai karena ego sektoral yang sangat kental (terjadi pemufakatan massif antara pusat dan daerah tanpa tertulis). Pemerintah mohon hentikan pembodohan publik dalam pengelolaan sampah, harap baca dan aplikasi regulasi sampah dengan benar dan bertanggungjawab, ejawantah regulasi itu. Hentikan cara-cara yang tidak jujur dalam menyikapi problematika persampahan Indonesia. Karena bila tidak kondusif dan komprehensif maka resistensi akan muncul terus, yakin itu bahwa solusi sampah bukan di hilir tapi di hulu.